(By : Busranto Abdullatif Doa)
Sahu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat, letaknya tidak jauh dari Ternate. Sebelah tara berbatasan dengan kecamatan Ibu, sebelah selatan berbatasan dengan Jailolo, sebelah timur dengan Kao dan sebelah barat dengan laut Maluku. Di Sahu terdapat berbagai macam potensi alam baik laut maupun darat. Diantaranya potensi pariwisata alam seperti Danau Rano (Telaga Rano), Air terjun Goal, Pantai Disa dan Pantai Muara Kali Ake Lamo. Ada satu potensi adat yang penerapannya banyak mengandung makna filosofis dan mistis; ada nilai persaudaraan dan solidaritas antar sesame manusia dan lekat dengan nuansa Bari (artikel sebelumnya).
Sahu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat, letaknya tidak jauh dari Ternate. Sebelah tara berbatasan dengan kecamatan Ibu, sebelah selatan berbatasan dengan Jailolo, sebelah timur dengan Kao dan sebelah barat dengan laut Maluku. Di Sahu terdapat berbagai macam potensi alam baik laut maupun darat. Diantaranya potensi pariwisata alam seperti Danau Rano (Telaga Rano), Air terjun Goal, Pantai Disa dan Pantai Muara Kali Ake Lamo. Ada satu potensi adat yang penerapannya banyak mengandung makna filosofis dan mistis; ada nilai persaudaraan dan solidaritas antar sesame manusia dan lekat dengan nuansa Bari (artikel sebelumnya).
Nilai persaudaraan dan kekeluargaan terlihat pada saat pembagian hasil tangkapan Ikan Bubara Ruo. Siapapun boleh mengambil ikan hasil tangkapan tersebut secukupya; aplikasi (penerapan) adapt se atorang terlihat jelas pada acara tradisional penangkapan Ikan Bubara Ruo.
Unsur mistis (menjiarahi keramat Bubara Ruo) pada acara tersebut menendakan bahwa masyarakat di kecamatan Sahu (Maluku Utara pada umumnya) sangat yakin akan keterikatan alam fisik dengan alam metafisik yang keduanya tidak bias dipisahkan antara satu sama lain.
Pelaksanaan prosesi adapt ini terbagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama; Prosesi mistik, dimana para peserta penangkap ikan Bbara Ruo pergi berjiarah ke keramat (Jere) yang dikenal dengan Keramat Bubara Ruo yan terletak di tempat tersebut. Kedua; Prosesi penangkapan ikan, dan Ketiga; Pembacaan doa syukuran oleh Imam mesjid.
Prosesi Penangkapan Ikan Bubara Ruo
Pada saat bulan di langit memasuki malam ke lima atau ke enam, beberapa orang pergi menjiarahi keramat Bubara Ro yang terletak di bukit Buku Din. Pada saat jiarah di tempat tersebut, jika batu nisan makam banyak terdapat kelompok semut yang sedang berhimpun pada batu nisan, maka itu tandanya Ikan Bubara Ruo di tepian panta banyak dan kalau di batu nisan tidak berhimpun semut merah maka Ikan Bubara Ruo tidak ada.
Sekembalinya dari keramat/makam tersebut dan yakin atas penglihatan fenomena semut yang banyak berhimpun pada batu nisan tadi, maka sekemlabinya ke pemukiman segeralah diumumkan kepada khalayak ramai terutama pemilik jaring dan anggota-anggotanya guna segera membuat persiapan untk menjaring ikan Bubara Ruo pada malam ketujuh sampai malam kesepuluh bulan di langit.
Setelah tiba hari yang dinantikan untuk menjaring ikan, mereka menghubungi seorang warga yang mempunyai kemahiran untuk bertugas memandu para nelayan dalam proses penangkapan ikan (biasanya dilakukan oleh Almarhum Ali Sinen).
Pemandu ini menggunakan pakaian kebesarannya, pada saat dini hari setelah waktu subuh, sudah hadir lebih dahulu di bawah tebing berupa bukit terjal di tepi pantai kecil yang bernama Aru ma Mada yang berjarak sekitar 15 meter dari dari pantai.
Konon ikan Bubara Ruo hanya terdapat di perairan sekitar bukit terjal ini. Bukit terjal Aru ma Mada memiliki sebuah goa dengan panjang ke dalam sekitar 5 meter dan memiliki lingkaran tengah mulut gua selebar 1,5 meter.
Pada pagi hari tepat pada pukul 06.00, para nelayan dengan menggunakan beberapa perahu lengkap dengan jaring telah siap dan berjaga-jaga dengan jarak dari satu perahu ke perahu lainnya kira-kira 40 sampai 60 meter. Pandangann masing-masing juru mudi perahu dan segenap nelayan serta anggota masyarakat tertuju pada sang pemandu ikan.
Bila sang pemandu mulai berdiri dan bergerak laksana melakukan gerakan menari, maka itu menandakan bahwa ikan Bubara Ruo sudah ada. Jika gerakan yang dilakukan oleh sang pemandu itu arahnya tertuju ke tepi pantai, maka itu menandakan ikan Bubara Ruo masih jauh, si pemandu seraya memberi isyarat ke setiap mata yang tertuju padanya agar jangan dulu membuang jaring.
Namun kalau geraka tari sang pemandu mengarah ke darat dan memberika isyarat berupa pengibaran/melambaikan Tulo (topi tradisional) yang dikenakan, itu menandakan ikan Bubara Ruo sudah dekat dan boleh membuang jaring (bahasa daerah setempat; Soma) untuk mengurung ikan.
Setelah ikan Bubara Ruo terkepung dan berada dalam jaring, hampir semua anggota masyarakat secara gotong royong (Bari) memegang dan menarik jaring secara bersama-sama dengan mengikuti aba-aba dari jurumudi (bahasa daerah; Saehu). Semakin dekat lingkaran jaring ke darat akan semakin jelas terlihat banyaknya ikan Bubara Ruo.
Pada kesempatan itulah masyarakat yang menyaksikan prosesi ritual tersebut seluruhnya menyerbu ikan Bubara Ruo yang sudah terkepung dalam jaring itu dan mengambilnya sesuka hati untuk dikumpulkan dalam badan perahu. Kendati adakalanya jaring ikut rusak oleh serbuan massa tersebut.
Ketika ikan Bubara Ruo sudah termuat di perahu, Saehu melihat dan memilih beberap ekor ikan yang diduga merupakan induk dari ikan-ikan yang ditangkapnya. Ada anggapan bahwa kalau ada 5 ekor induk ikan, maka pengikutnyapun berjumlah 500 ekor pula.
Kemudian beberapa induk ikan tersebt dibawa ke rumah imam mesjid dan diletakan di atas piring besar yang disebut Lesa-Lesa. Imam mesjid desa Susupu memmanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa di hadapan ikan yang tergelatak di atas lesa-lesa.
Selesai berdoa, ikan-ikan di atas lesa-lesa itu dibagi; 1 ekor untuk Imam, 1 ekor untuk Kepala Desa dan 1 ekor lainnya untuk Camat/Sangadji. Setelah itu baru terjadi jual beli seluruh ikan-ikan hasil tangkapan hari itu. (kp/Rei)
This entry was posted
on Friday, 27 April 2007
at Friday, April 27, 2007
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.