Tradisi Ritual & Prosesi Penangkapan Ikan Bubara Ruo di Sahu/Susupu  

Posted

(By : Busranto Abdullatif Doa)

Sahu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat, letaknya tidak jauh dari Ternate. Sebelah tara berbatasan dengan kecamatan Ibu, sebelah selatan berbatasan dengan Jailolo, sebelah timur dengan Kao dan sebelah barat dengan laut Maluku. Di Sahu terdapat berbagai macam potensi alam baik laut maupun darat. Diantaranya potensi pariwisata alam seperti Danau Rano (Telaga Rano), Air terjun Goal, Pantai Disa dan Pantai Muara Kali Ake Lamo. Ada satu potensi adat yang penerapannya banyak mengandung makna filosofis dan mistis; ada nilai persaudaraan dan solidaritas antar sesame manusia dan lekat dengan nuansa Bari (artikel sebelumnya).




Nilai persaudaraan dan kekeluargaan terlihat pada saat pembagian hasil tangkapan Ikan Bubara Ruo. Siapapun boleh mengambil ikan hasil tangkapan tersebut secukupya; aplikasi (penerapan) adapt se atorang terlihat jelas pada acara tradisional penangkapan Ikan Bubara Ruo.

Unsur mistis (menjiarahi keramat Bubara Ruo) pada acara tersebut menendakan bahwa masyarakat di kecamatan Sahu (Maluku Utara pada umumnya) sangat yakin akan keterikatan alam fisik dengan alam metafisik yang keduanya tidak bias dipisahkan antara satu sama lain.

Pelaksanaan prosesi adapt ini terbagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama; Prosesi mistik, dimana para peserta penangkap ikan Bbara Ruo pergi berjiarah ke keramat (Jere) yang dikenal dengan Keramat Bubara Ruo yan terletak di tempat tersebut. Kedua; Prosesi penangkapan ikan, dan Ketiga; Pembacaan doa syukuran oleh Imam mesjid.

Prosesi Penangkapan Ikan Bubara Ruo

Pada saat bulan di langit memasuki malam ke lima atau ke enam, beberapa orang pergi menjiarahi keramat Bubara Ro yang terletak di bukit Buku Din. Pada saat jiarah di tempat tersebut, jika batu nisan makam banyak terdapat kelompok semut yang sedang berhimpun pada batu nisan, maka itu tandanya Ikan Bubara Ruo di tepian panta banyak dan kalau di batu nisan tidak berhimpun semut merah maka Ikan Bubara Ruo tidak ada.

Sekembalinya dari keramat/makam tersebut dan yakin atas penglihatan fenomena semut yang banyak berhimpun pada batu nisan tadi, maka sekemlabinya ke pemukiman segeralah diumumkan kepada khalayak ramai terutama pemilik jaring dan anggota-anggotanya guna segera membuat persiapan untk menjaring ikan Bubara Ruo pada malam ketujuh sampai malam kesepuluh bulan di langit.

Setelah tiba hari yang dinantikan untuk menjaring ikan, mereka menghubungi seorang warga yang mempunyai kemahiran untuk bertugas memandu para nelayan dalam proses penangkapan ikan (biasanya dilakukan oleh Almarhum Ali Sinen).

Pemandu ini menggunakan pakaian kebesarannya, pada saat dini hari setelah waktu subuh, sudah hadir lebih dahulu di bawah tebing berupa bukit terjal di tepi pantai kecil yang bernama Aru ma Mada yang berjarak sekitar 15 meter dari dari pantai.

Konon ikan Bubara Ruo hanya terdapat di perairan sekitar bukit terjal ini. Bukit terjal Aru ma Mada memiliki sebuah goa dengan panjang ke dalam sekitar 5 meter dan memiliki lingkaran tengah mulut gua selebar 1,5 meter.

Pada pagi hari tepat pada pukul 06.00, para nelayan dengan menggunakan beberapa perahu lengkap dengan jaring telah siap dan berjaga-jaga dengan jarak dari satu perahu ke perahu lainnya kira-kira 40 sampai 60 meter. Pandangann masing-masing juru mudi perahu dan segenap nelayan serta anggota masyarakat tertuju pada sang pemandu ikan.

Bila sang pemandu mulai berdiri dan bergerak laksana melakukan gerakan menari, maka itu menandakan bahwa ikan Bubara Ruo sudah ada. Jika gerakan yang dilakukan oleh sang pemandu itu arahnya tertuju ke tepi pantai, maka itu menandakan ikan Bubara Ruo masih jauh, si pemandu seraya memberi isyarat ke setiap mata yang tertuju padanya agar jangan dulu membuang jaring.

Namun kalau geraka tari sang pemandu mengarah ke darat dan memberika isyarat berupa pengibaran/melambaikan Tulo (topi tradisional) yang dikenakan, itu menandakan ikan Bubara Ruo sudah dekat dan boleh membuang jaring (bahasa daerah setempat; Soma) untuk mengurung ikan.

Setelah ikan Bubara Ruo terkepung dan berada dalam jaring, hampir semua anggota masyarakat secara gotong royong (Bari) memegang dan menarik jaring secara bersama-sama dengan mengikuti aba-aba dari jurumudi (bahasa daerah; Saehu). Semakin dekat lingkaran jaring ke darat akan semakin jelas terlihat banyaknya ikan Bubara Ruo.

Pada kesempatan itulah masyarakat yang menyaksikan prosesi ritual tersebut seluruhnya menyerbu ikan Bubara Ruo yang sudah terkepung dalam jaring itu dan mengambilnya sesuka hati untuk dikumpulkan dalam badan perahu. Kendati adakalanya jaring ikut rusak oleh serbuan massa tersebut.

Ketika ikan Bubara Ruo sudah termuat di perahu, Saehu melihat dan memilih beberap ekor ikan yang diduga merupakan induk dari ikan-ikan yang ditangkapnya. Ada anggapan bahwa kalau ada 5 ekor induk ikan, maka pengikutnyapun berjumlah 500 ekor pula.

Kemudian beberapa induk ikan tersebt dibawa ke rumah imam mesjid dan diletakan di atas piring besar yang disebut Lesa-Lesa. Imam mesjid desa Susupu memmanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa di hadapan ikan yang tergelatak di atas lesa-lesa.

Selesai berdoa, ikan-ikan di atas lesa-lesa itu dibagi; 1 ekor untuk Imam, 1 ekor untuk Kepala Desa dan 1 ekor lainnya untuk Camat/Sangadji. Setelah itu baru terjadi jual beli seluruh ikan-ikan hasil tangkapan hari itu. (kp/Rei)

Baca selengkapnya......

Tradisi "BARI" Dalam Perspektif Budaya  

Posted

OIeh: Udin Hi. Rasyid * )

Prof. Wojowasito dan Poerwadarminta dalam kamus Inggris - Indonesia (1980) mendefinisikan kata “Gotong Royong” yakni bersama-sama merasa senasib sepenanggungan sekaligus merasa ada keterkaitan yang erat sehingga merasa terpanggil dalam melakukan suatu pekerjaan.

Gotong royong dalam bahasa Temate disebuf “Bari". Bari diartikan secara harfiah yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari pihak lain. serta melibatkan banyak orang dan pekerjaan tersebut dilakukan bersama-sama tanpa mengharapkan upah atau gaji.

Dengan demikian gotong royong yang dilakukan masyarakat Maluku Utara, khsusnya di Ternate adalah gotong royong yang didasarkan pada-keikhlasan manusia membantu manusia lainnya. Dan ini merupakan impiementasi dari falsafah “Co'ou Kaha, Kie se Kolano”, dengan suatu keyakinan bahwa pada hakekatnya mendong manusia dengan ikhlas sama halnya dengan menolong diri sendiri (hubungan antara manusia dengan manusia).

Yang dimaksud dengan "menolong diri sendiri," lebih mengarah pada pemahaman religius bahwa setiap perbuatan manusia pasti mendapat ganjaran dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Perbuatan baik pasti mendapatkan pahala. Begitujuga sebaliknya (hubungan antara Tuhan dengan manusia) hanya kadar ke-ikhasanlah yang menjadi perhitungan Tuhan dalam menilai setiap perbuatan hambanya.

Jadi, Bari dalam konsep budaya Ternate adalah suatu kegiatan kemanusiaan yang didasarkan pada kaikhlasan sebagai pengakuan diri (co'ou) dengan tidak mengharapkan imbaian materi, sebagai wujud dari kesamaan asal (kaha) yang merupakan kehendak kekuasaan (kie) yang sudah ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.

Di kota-kota besar, budaya gotong royong tidak berkembang seperti yang kita harapkan karena masyarakat yang hidup di daerah perkotaan adalah masyarakat bisnis yang tidak lepas dari persoalan buruh dan upah sehingga kegiatan-kegiatan semacam ini jarang dilakukan orang. Banyak pekerjaan yang dilakukan orang lebih berorientasi pada proyek atau uang (materi), sehingga bagi orang yang tidak memiliki uang, jelas tidak dapat membangun bangunan yang diinginkan seperti rumah atau tempat tinggal yang layak.

Kehidupan kota yang individual sifatnya menunjukan siapa yang kuat memiliki kekuasaan, uang dan pekerjaan dapat hidup layak sementara kaum yang lemah terpaksa hidup di emper-emper toko, Rasa solideritas dan sosialitas tidak berlaku bagi kehidupan kota.
Sebagai contoh, budaya Bari murni yang ada di Ternate saat ini masih terdapat di desa Taduma, kelurahan Aftador (Afe, Taduma dan Doropedu) di kecamatan pulau Ternate. Pada era krisis moneter dan era reformasi yang berjalan beberapa tahun terakhir ini, masyarakat Taduma telah melakukan pekerjaan yang sangat mulia yaitu mereka saling totong menolong dalam membangun rumah penduduk sudah lebih dari 35 buah semi permanen dan permanen termasuk rumah ibadah atau bangunan sosial seperti rumah guru, yang dibangun secara swadaya mumi masyarakat sejak tahun 1980 yang hingga saat ini masih berdiri tegak. Begitu juga dengan pembangunan Fala Soa (Rumah Adat) di Ave Beach (Pantai Ave) yang berukuran 14 x 9 meter persegi dibanguh masyarakat Aftador dengan biaya lebih kurang Rp, 200.000.000.

Budaya Bari telah berkembang di desa Taduma sejak tahun 1800-an yang diprakarsai oleh nenek moyang masyarakat Taduma dan bahkan pada perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, mereka bergabung dengan pejuang Temate lainnya mengusir penjajahan dari Bumi Moloku Kie Raha.

Bagi masyarakat Taduma, setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan apa saja yang dibangun dalam kerangka mensejahterakan orang lain dalam desa ini adalah sangat mudah, karena budaya "Bari" telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang ingin membangun rumahnya hanya menyiapkan bahan-bahan bangunan dan pada saat pembangunan tersebut dilaksanakan begitu banyak orang datang membantu tanpa dipanggil oleh para pemilik rumah tersebut. "

Tidak ketinggalan ibu-ibu membawa kebutuahan dapur sekaligus menyiapkan minuman ringan dan makanan seadanya. Kalaupun bahan yang disediakan masih kurang (belum cukup) ada sebagaian masyarakat yang memberi secara suka rela guna melengkapi kekurangan tersebut, sehingga sebuah rumah dapat dibangun dalam waktu yang sangat singkat yaitu sekitar 7 (tujuh) hari. Diawali dengan membuat fondasi sampai tutup atap (seng). Masyarakat yang secara suka rela datang membantu tidak mengharapkan upah atau gaji.

Begitu juga dengan kegiatan lain seperfi panen cengkeh, pala, atau yang lainnya. Budaya Bari ini tetap dikembangkan oleh masyarakat sehingga jika ada seorang pendatang menikah dan menetap di desa Taduma, serasa ingin tetap menetap di situ. Taduma dapat juga disebut Indonesia Mini karena pembauran yang hanya melihat pada manusianya terjadi di sini. Dengan kata lain adat se atorang sudah berjalan dan diterapkan di Taduma.

Kita berharap para pejabat negara dari atas sampai di bawah bekeja berorientasi uang sangat sulit untuk memakmurkan rakyat. Kita juga berharap semoga mereka bekerja sesuai makna bahasa "gotong royong" (Bari) yang sebenamya sehingga cita-cita leluhur negeri ini dapat tercapai.

* Penulis adalah pemerhati budaya Ternate, tinggal di desa Taduma Ternate.

Baca selengkapnya......

Arsitektur Tradisional Ternate - Tidore dan Halmahera (Studi Analisa Konstruksi Tradisional)  

Posted

(Oleh : Adhi Mursid)
===================================================================

Indonesia memiliki banyak sekali arsitektur lokal semacam ini, dengan ragamnya yang amat kaya tersebar di seantero kepulauan kita. Berjenis arsitektur lokal di pelbagai daerah di Indonesia ini, jelas merupakan sumber-sumber informasi bagi pengetahuan khususnya tentang bangunan-bangunan dan lingkungan fisik yang khas dari masyarakat pribumi daerah yang bersangkutan.


PENDAHULUAN

Sudah diakui, bahwa dunia kini memiliki satu corak arsitektur. Perwujudannya adalah "Arsitektur Modern" yang disebut pula sebagai Arsitektur "Gaya Internasional". Corak ini merupakan hasil dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad 19 dan 20 yang mengakibatkan sebagian kebutuhan dan persyaratan hidup menjadi relatif sama pada masyarakat-masyarakat di dunia.

Pemilikan teknik bangunan, teknologi membangun. bahan bangunan produk industri serta standar pendidikan arsitek/teknisi yang sama, terpakai dan berlaku di mana-mana, yang kemudian memperkuat kecenderungan wajah arsitektur di kota-kota dan kota-kota besar di dunia menjadi senada dan sebahasa. Asal usul gaya ini dan sejarah perkembangannya, sudah lama difikirkan dan ditulis orang, dan kini sudah merupakan pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia.

Di pihak lain, walaupun belum (atau tidak) dimasukkan dalam bagian pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia tersebut di atas, sesungguhnya di bagian-bagian lain di dunia ini masih ada lagi arsitektur dengan corak yang sangat berbeda dengan corak modern. Banyak orang belum pernah tahu, bahkan memang orang belum memberikan nama pada arsitektur jenis ini. Kita boleh menamakannya arsitektur diaiek (vernacular), arsitektur tanpa nama (anonymus), arsitektur pedesaan (rural), arsitektur asli (indigenous), arsitektur alamiah (spontaneous), atau apa pun, tapi yang jelas ia adalah arsitektur lokal, setempat, sangat khas, yang dibangun menurut tradisi budaya masyarakat yang bersangkutan.




Arsitektur-arsitektur lokal ini pada dasarnya berkaitan erat dengan hunian atau tempat tinggal beserta bangunan-bangunan dan struktur pelengkapnya (lumbung, tempat pemujaan, bangunan-bangunan tambahan, dll). Bangunan-bangunan hunian itu didirikan menurut konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan nenek moyang mereka. Perwujudan bentuk sebagai hasilnya seperti terlihat saat ini dapat dianggap tidak berbeda jauh dari perwujudan bentuk hasil tradisi yang sama pada masa-masa yang lampau walaupun perubahan-perubahan kecil maupun besar bisa saja terjadi pada masa yang silam.

Dengan demikian, kalau kita mengamati bangunan-bangunan dalam "enclave" arsitektur lokal sekarang ini, yang dianggap oleh para anggota masyarakat setempat sebagai bangunan yang struktur dan bentuknya adalah sesuai dengan tradisi budaya mereka, paling tidak, ia dapat dianggap sebagai perwujudan tradisi mereka yang sama di masa lampau.


Atas dasar anggapan ini, arsitektur lokal seperti yang dimaksud di atas dalam tulisan ini akan disebut sebagai arsitektur tradisional karena pernyataan bentuknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui bersama atau masih dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai tradisi yang turun temurun. Kini, apa yang sedang terjadi pada kantong-kantong arsitektur tradisional kita ? Beberapa kasus dapat disebutkan berikut Ini :

— Masyarakat To Lore yang sudah ribuan tahun beranak pinak dan hidup serasi dengan tanah dan- hutan di dataran tinggi Sulawesi Tengah, mungkin akan segera dipindahkan dan dimukimkan kembali ke daerah lain. Hutan dan lembah di lereng Gunung Nokilalaki tempat mereka bermukim ini akan dijadikan cagar alam dan taman nasional "Lore Kalamanta". Tidakkah pemisahan secara drastis semacam ini, akan menimbulkan dekadensi kebudayaan dan punahnya suatu tradisi lama sebelum kita mengenalnya secara mendalam.

— Program "pemukiman kembali" yang teratur dan terarah terhadap masyarakat Badui Luar di Jawa Barat dari daerah asalnya di Kanekes ke Gunung Tunggal merupakan contoh yang sejenis dengan kasus masyarakat To Lore. Cepat atau lambat kemungkinan besar^masyarakat Badui Dalam akan mengalami pula gilirannya.

— Contoh lain adalah program "turun ke tanah" yang dilaksahakan terhadap masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan Timur, yang selain dimukimkan kembali akibat daerah pemukiman asalnya termasuk hutan yang di-"konsesikan" mereka juga diajar untuk tinggal satu keluarga dalam satu rumah, tidak lagi bersama-sama dengan keluarga-keluarga lain semasyarakat.

— Banyak sekali lingkungan dan bangunan tradisional harus dibongkar dan dihancurkan akibat dilaksanakannya rencana pelebaran jalan, atau pembangunan "fasilitas" baru bagi lingkungan (shopping center, perkantoran dll.), baik pada tingkat kota, kecamatan maupun kabupaten.


Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa bangunan-bangunan dan lingkungan tradisional kini berada dalam masa transisi di mana ia sedang mengalami perubahan-perubahan besar yang mengandung unsur kecenderungan untuk punah. Keinginan untuk memperbanyak usaha melakukan pencatatan dan perekaman pengetahuan tentang arsitektur tradisional adalah dalam rangka menyelamatkan pengetahuan ini agar tidak musnah bersamaan dengan musnahnya arsitektur itu sendiri.

Penelitian arsitektur tradisional di Ternate, Halmahera dan sekitarnya yang dipaparkan dalam tulisan ini, merupakan realisasi dari keinginan dan usaha tersebut di atas. Penelitian ini masih merupakan penelitian awal dari serentetan rencana penelitian serupa yang akan dilakukan pada sebanyak mungkin arsitektur tradisional daerah-daerah lain di Indonesia. Penelitian-penelitian awal ini dilaksanakan dalam kerangka "Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia" oleh Jurusan llmu-ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.



PENELITIAN-PENELITIAN AWAL YANG TELAH DILAKSANAKAN

1. Ruang Lingkup.

Penelitian awal ini berusaha merekam arsitektur tradisional sebagaimana ia dibangun dan sebagaimana adanya dari beberapa lokasi di Ternate, Halmahera dan sekitarnya. Pengertian arsitektur, demikian pula arsitektur tradisional sebenarnya luas sekali. la mencakup bagian-bagian yang teraga dan juga yang tidak teraga. la mengandung standar-standar fisik dan simbolik dan ia memiliki pula banyak aspek, baik alamiah maupun manusiawi. Sebagai tahap paling awal penelitian ini membatasi diri pada perekaman kenyataan-kenyataan fisik saja dari bangunan-bangunan yang berkaitan dengan hunian atau tempat hnggal beserta bangunan-bangunan lain sebagai pelengkapnya.


2. Metode Penelitian.

a. Menentukan contoh-contoh yang kiranya mewakili bentuk hunian atau lingkungan suatu wilayah dengan bantuan kepustakaan yang ada serta wawancara di lapangan.

b. Melakukan pengukuran terhadap bangunan secara keseluruhan dan detail-detail bagian-bagian yang dianggap penting dalam arti mengandung telaah yang kaya dan majemuk. Untuk mendapatkan kesan-kesan yang menyeluruh digunakan alat potret sehingga terekam keterangan visual seperti suasana gelap/terang, warna, tekstur, hubungan-hubungan konstruksi dan bentuk-bentuk hiasan yang rumit.


c. Untuk mencatat kemungkinan adanya varian dalam suatu 'penyelesaian arsitektural, adanya bagian-bagian yang pernah diubah atau perubahan-perubahan akibat pengaruh ikiim dan cuaca, dilakukan wawancara dengan orang-orang terpandang yang tahu dalam bidang yang bersangkutan dengan menggunakan pita kaset.

d. Menghubungkan data-data pengukuran dengan keterangan-keterangan hasil wawancara maupun literatur dan menuangkannya dalam bentuk "penggambaran kembali". .

e. Hasil yang diperoleh adalah data-data dalam bentuk gambar-gambar yang terukur dan terskala sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.



3. Hasil-hasil Penelitian Awal

Hasil-hasil penelitian awal ini merupakan arsitektur-arsitektur daerah-daerah Siko dan Facei di Ternate, Dokiri di Tidore, Taraudu (Sahu), Cempaka (Sahu), Katana (Tobelo) dan Galela di Halmahera. Gambar-gambar dan keterangan-keterangan yang diberikan di sini, diambil dan merupakan sebagian kecil dari bahan laporan data.



KESIMPULAN-KESIMPULAN SEMENTARA

Pra-penelitian yang hanya mengamati kenyataan-kenyataan fisik ini sangat dibatasi oleh obyek yang ada, sifat-sifatnya dan jumlah yang berhasil diamati.

Sesungguhnya makin beragam dan majemuk serta makin banyak jumlah obyek yang diamati, akan makin memperhalus hasil yang dapat diperoleh. Pada penelitian awal yang telah dilakukan ini masih dianggap bahwa obyek yang diamati terlampau sedikit sehingga dalam menarik hasil daripadanya peneliti banyak melakukan "rampatan" (generalization). Oleh karena itu hasil-hasil ini perlu dianggap sebagai hasil yang masih bersifat sementara.



Dari hasil rekaman yang sudah dikumpulkan, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sementara yang menunjukkan sifat-sifat umum arsitektur tradisional Halmahera dan sekitarnya, sebagai benkut :

a. Bangunan-bangunan tempat tinggal umumnya konsentris, terdiri dari bagian inti di tengah (bilik dalam) dan bagian-bagian luar yang mengelilingi bagian inti (bilik luar).

b. Bangunan-bangunan ini sebagian berdiri dengan lantai diangkat ±90 -150 cm di atas tanah (Siko, Pacei, Taraudu) dan sebagian lagi berlantai langsung di atas tanah (Dokiri, Katana, Galela). (c) Struktur bangunan adalah s'stem rangka (skeleton) dari kayu, bambu dan kombinasi dari keduanya.



d. Bentuk bangunan adalah geometris, bentuk tetap segi delapan, dengan bagian yang tertinggi berbentuk pelana mengindikasikan bilik dalam sebagai bagian yang terpenting dari rumah.

e. Bahan bangunan yang dipakai adalah bahan bangunan lokal, yang langsung terdapat di daerah itu seperti : kayu untuk rangka rumah; bambu untuk tulangan utama dinding, untuk tulangan dasar dari dinding, untuk bahan dinding/lantai (bambu belah); daun nipah untuk bahan atap, dan untuk dinding (pelepahnya).



f. Tiang-tiang utama rangka rumah dan tulangan dasar dinding berdiri di atas umpak batu.

g. Penyelesaian-penyelesaian detail sambungan konstruksi dan ke-mampuan membuat aneka ragam ornamen cukup unik, menun-jukkan adanya potensi pertukangan yang besar (skilled).

h. Bangunan-bangunan memberikan asosiasi pada bentuk kapal.




KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN PENELITIAN LEBIH LANJUT

Dalam Laporan Pra-penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia, telah disebut kemungkinan-kemungkinan penelitian lebih lanjut, yang jelas berlaku pula bagi kelanjutan penelitian awal terhadap arsitektur tradisional Ternate dan Halmahera. Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman dari keadaannya pada satu waktu tertentu. Dengan perkataan lain, perekaman ini pada waktu-waktu tertentu di masa yang akan datang perlu dikerjakan lagi secara berkala tapi terus menerus agar dapat menghasilkan rekaman-rekaman yang dapat memperlihatkan po/a perubahannya di kemudian hari. Perekaman terus menerus ini akan dapat memberikan petunjuk akan arah-arah perubahan yang disukai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang bersangkutan. Langkah selanjutnya adalah meneliti perangai seseorang atau sekelompok masyarakat tersebut, dalam menghadapi setiap bentuk perubahan di tengah-tengah pembangunan ini.



2. Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman petunjuk-petunjuk untuk menyempurnakan metode penelitian yang dianut sebelumnya. Dengan metode yang disempurnakan ini penelitian-penelitian serupa dapat segera diterapkan pada daerah-daerah lain guna memperkaya jumlah obyek yang diamati sehingga dengan demikian generalisasi yang terpaksa telah di-lakukan pada hasil-hasil penelitian yang sekarang dapat diper-halus.

3. Penelitian ini pun dapat membuka mata ke arah kenyataan akan adanya hubungan timbal balik antara "kepercayaan" (yakni hu-bungan kejiwaan antara manusia dengan alam lingkungannya) dengan pemanfaatan atau pengolahan benda. Hal ini menunjuk kepada gejala-gejala semiologik/semiotika, kaidah-kaidah linguis-tik atau penciptaan simbol-simbol, yang pada gilirannya merupa-kan bagian dari environmental communication. Hasil dari kegiatan ini akan mencakup berbagai bidang keilmuan.

Data lengkapnya tersusun dalam :

· Laporan Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia, Proyek Study Sektoral / Regional
No. 281/PSSR/DPPM/1977.
· Laporan Data Studi Arsitektur Tradisional Aceh, Sumba, Maluku Utara. Pra-Penelitian
Sejarah Arsitektur Indonesia. Jurusan llmu-ilmu Sejarah Indonesia, Fakultas Sastra, Iniversitas Indonesia 1978-1979.

Catatan : Double klik pada gambar untuk melihat ukuran besar...!

Baca selengkapnya......

Makna Filosofis Tradisi SARO-SARO dan JOKO KAHA serta Sajian Makanan Adat Ternate  

Posted

(Oleh : Haji Alauddin Haji Abdullatif)
===================================================================

Saro-saro adalah suatu bentuk doa atau permintaan yang sifatnya ritual dan mengandung makna filosofis dalam tradisi kehidupan masyarakat Ternate. Joko Kaha atau “injak tanah” adalah ssalah satu jenis bentuk tradisi orang Ternate untuk melakukan ritual menginjak tanah pertama kali. Sedangkan Makan Adat adalah sebuah acara makan bersama menurut tradisi dan tata cara adat yang yang dilakukan sejak ratusan tahun lalu.



Permintaan atau doa yang tertuang dalam bentuk pangan dan disuguhkan pada kedua mempelai ini disampaikan oleh ibu-ibu dari saudara ibu dan saudara ayah dari kedua mempelai yang dalam bahasa Ternate disebut : Yaya se Goa (adat seatorang). Karena Yaya se Goa dari saudara ibu dan ayah dari kedua mempelai; pertama-tama turut bertanggung jawab sebelum dan sesudah pelaksanaan perkawinan ini dan kedua adalah awal perkenalan dan per.ialinan kekeluargaan dari kedua mempelai.

Bentuk Pangan (Saro-Saro) dalam upacara perkawinan.

Bahan-bahan dalam bentuk pangan lengkap dalam suatu upacara Saro-Saro sebuah perkawinan terdiri dari :

1. Bubur Sirikaya :
Terbuat darii telur ayam, gula, santan kelapa dan sari daun pandan. Pengertian filosofinya; Sirikaya yang manis rasanya lembut dan enak rasanya seperti manisnya budi pekerti yang diharapkan dari kedua mempelai.
2. Kobo (Ketupat Kerbau) :
Berjumlah empat buah atau tiga buah. Pengertian filosofinya; Binatang kerbau yang kuat, rajin dan setia diharapkan menjadi sifat sang suami yang memikul tanggung jawab atas bahtera rumah tangganya.
3. Nanasi (Ketupat Nanas) :
Berjumlah empat atau tiga buah. Buah nenas yang lekuknya bertatahkan rapi dan berartistik megah yang di atasnya berada mahkota, memiliki kulitnya yang tebal, memiliki duri, dan isinya yang sangat enak ini diharapkan menjadi sifat sang isteri yan setia menjaga rumah tangga, tahan dari godaan dan setia kepada sang suami.
4. Jaha (Pali-Pali) yang terdiri dari sepuluh potong terpampang dan tersusun rapi di atas sebuah piring yang melambangkan kekuatan armada laut Ternate pada masa lampau yang selalu siaga siap tempur untuk mempertahankan kedaulatan negerinya.
5. Bubur Kacang Hijau (Gule-gule Tamelo) yang disajikan melambangkan kekayaan hasil pertanian masyarakat Ternate yang melimpah.
6. Ikan dan Terong yang diletakkan dalam sebuah piring dan kepala ika dan tangkai terong menghadap ke kepala meja (arah penganten). Ikan dan terong ini melambangkan kehidupan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adat Ternate. Ikan dan Terong ini biasanya disajikan dalam 4 jenis bumbu yang biasanya disebut dengan ; Doda Bonci, Doda Rica, Doda Acar dan Doda Kecap.
7. Boboto (sering juga disebut Boto-boto) sebanyak 4 buah mengandung makna bahwa pada awal mula masyarakat di pulau Ternate dibawah kuasa empat Momole, sehinga di dalam satu paket makanan adat tersebut disajikan untuk empat orang, tidak boleh lebih atau tida boleh kurang.
8. Agi, (Sop Gulai) yang melambangkan kekayaan laut yang melimpah.



Setelah Saro-saro ini dilaksanakan, menyusul acara selanjutnya adalah Joko Kaha atau Injak Tanal yang juga mengandung filosofi tersendiri, yakni :
1. Segenggam Rumput Fartago yang diletakan di atas sebuah piring yang melambangkan bumi dan tumbuh-tumbuhan di Moloku Kie Raha ini dijamah dan dijelajahi kedua mempelai.
2. Sebotol Air yang disiramkan pada kaki mempelai melambangkan air, sungai dan laut di Moloku Kie Raha pun dijelajahi oleh kedua mempelai.
3. Pupulak yaitu beras yang diberi warna : putih, kuning, merah dan hijau yang melambangkan bermacam suku bangsa yang ada di Moloku Kie Raha, semoga menjadi sahabat dan kenalan bagi kedua mempelai.

Setelah kedua acara ini selesai bagi kedua mempelai. Ibu-ibu atau Yaya se Goa disuguhkan makanan adat yang terdiri dari jenis-jenis makanan tersebut di atas.



Bentuk dan Jenis bahan Saro-Saro untuk acara Cukur rambut Bayi, Sunatan dan Khatam Qur’an.

Saro-Saro untuk acara cukur rambut bayi, sunatan anak hanya disuguhkan bahan-bahan saro-saro seperti di bawah ini :
1. Bubur Sirikaya.
2. Ketupat Kobo.
3. Ketupat Nanasi.
4. Dan disertai bahan-bahan untuk Joko Kaha, seperti :
a. Rumput Fartago.
b. Sebotol Air Murni.
c. Beras Pupulak.
5. Adapun peralatan untuk cukur rambut bayi :
a. Pisau cukur atau Gunting rambut.
b. Cermin dan Sisir.
c. Air kelapa muda yang masih berada dalam buah kelapa muda yang telah dihiasi warna-warni. d. Minyak wangi.



Sedangkan penganan untuk pelaksanaan cukuran rambut bayi atau sunatan anak, disuguhkan setelah para undangan yang terdiri dari keluarga, tetangga, imam-imam, dan pemuka adat tersebut selesai membacakan tahlil dan doa sukuran barulah disuguhkan makanan atatau kue-kue adat.

Tujuan diadakan saro-saro pada si bayi dan si anak pada vaktu cukuran rambut dan sunatan, jika sekiranya si bayi atau si anak itu setelah dewasa pada proses perkawinannya (oleh karena kawin lari atau lainnya) sehingga tidak diadakan saro-saro sudah tidak menjadi masalah lagi (karena beban adat) karena mereka telah melalui proses saro-saro sewaktu masih bayi atau anak.

Bahan pangan pada Saro-Saro untuk acara Khatam Qur’an, terdiri dari :

1. Satu pohon Umbi Jahe (dari daun batang hingga akar) yang diletakan dalam sebuah cangkir berisi gula pasir.
2. Tebu yang diukir dan dihiasi bentuk burung, kapal terbang terakit rapi dalam beberapa bentuk rakitan.
3. Buah Jeruk yang disusun rapi dalam beberapa bentuk rakitan .
4. Buah Delima tersusun rapi dalam beberapa bentuk rakitan
5. Pinang dan Sirih tercanang pada suatu rakitan dalam beberapa buah rakitan, dan
6. Batangan Rokok yang juga disusun dalam bentuk beberapa rakitan.



Setelah si anak baru Khatam Alquran dilaksanakan pembacaan ayat suci Al-Qur’an di depan para undangan yang hadir dan setelah selesai disertai dengan doa lalu si anak yang bersangkutan disaro dengan menyuguhkan jahe yang bergula pasir itu untuk dikunyah yang bersangkutan. Pengertiannya; rasa pedasnya jahe adalah rasa si anak sewaktu ditempa dalam mempelajari membaca Al-Qur’an, namun setelah khatam perasaan si anak tersebut seperti gula tebu. Buah jeruk dan buah delima adalah juga gambaran perasaan si anak tersebut. Sedangkan pinang, sirih dan rokok adalah kesukaan orang tua.



Setelah si anak tersebut disaro dengan jahe dan gula, maka dibacalah doa selamat. Kemudian tebu, jeruk, delima, pinang, sirih dan rokok dibagi-bagikan oleh para pelaksana khatam Quran itu kepada undangan yan hadir termasuk kepada penonton yang turut menyaksikan jalannya acara tersebut. Kemudian setelah itu barulah para pelaksana undangan dan tamu disuguhkan dengan makanan adat sesuai keadaan pelaksanaan khatam.

Demikianlah sekedar penjelasan pelaksanaan saro-saro di kalangan masyarakat adat Ternate, khususnya (pada klan Soa-Sio, Sangaji, Heku dan Cim)

Catatan : Empat buah Kobo dan empat buah Ketupat Nanas untuk Soa Sio dan Sangaji. serta tiga buah Kobo dan tiga buah Nanas untuk Heku dan Cim.

Ternate, 15 September 1995.
Haji Alaudin Haji Abdullatif
Admin : Double klik pada gambar untuk melihat ukuran besar...!



Baca selengkapnya......

Patriotisme Seorang BANAU Dalam Perang Jailolo Tahun 1914 (Pahlawan Yang Terlupakan)  

Posted

REFLEKSI SEJARAH
( Oleh : Busranto Latif Doa )
===================================================================

Setiap masyarakat di Maluku Utara bila mendengar kata "BANAU", maka konotasi yang akan timbul dalam pikiran pasti-lah nama salah seorang pejuang kemerdekaan yang sangat berani dan terang-terangan menentang penjajahan dan penindasan Kompeni Belanda, khususnya di wilayah Jailolo (Sekarang Kabupaten Halmahera Barat - Propinsi Maluku Utara). Konotasi kedua mungkin tertuju pada nama salah satu Batalyon Infanteri 732 di Ternate, Konotasi ketiga adalah nama salah satu jalan di kota Ternate dan konotasi yang lain misalnya tertuju pada nama salah satu sekolah setingkat SMTP di kota Ternate.

Pelestarian kebesaran nama Banau oleh orang Ternate (Maluku Utara) diimbuhkan pada konotasi-konotasi yang disebutkan di atas. Tapi sesungguhnya banyak diantara kita sudah sering mendengar ceritera kepahlawanan Banau yang melegenda tersebut, namun tidak banyak dari kita yang tahu bagaimana aspek kesejarahan dari peristiwa heroik tersebut. Bagi yang peduli akan nilai-nilai perjuangan yang ditunjukan oleh Banau, pastilah bertanya ; Bagaimana? Kapan? dan Dimana? peristiwa heroik itu terjadi? Dengan sumber data yang minim, penulis berusaha untuk mendeskripsikan peristiwa tersebut dalam bentuk artikel ini, mudah-mudahan ada manfaat buat pengunjung situs ini.


Pada awal tahun awal tahun 1900-an, di dataran Eropa sedang berkecamuk Parang Dunia ke-I. Negaranegara Eropa termasuk Belanda di daerah jajahannya khususnya di Indonesia juga melakukan persiapan-persiapan ke arah tersebut. Ketika Bangsa Jepang mampu menaklukkan wilayah Uni Soviet pada tahun 1905, maka bangsa-bangsa Eropa mulai segan terhadap apa yang terjadi di wilayah timur. Mereka mulai memperhitungkan adanya kebangkitan dari bangsa-bangsa Asia untuk melawan dominasi Barat.

Perang Jailolo yang terjadi di wilayah bekas kesultanan Jailolo di pulau Halmahera Maluku Utara, yang oleh masyarakat setempat sering disebut "Perang Tuada se Tudowongi" atau dalam bahasa daerah disebut dengan "ROGU LAMO JAILOLO" mengandung nilai perjuangan dan refleksi jiwa patriotisme masyarakat Maluku Utara terhadap bentuk penindasan atas hak-hak kemanusiaan masyarakat pribumi.

Yang dimaksud dengan "Perang Jailolo atau Rogu Lamo Jalolo" adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat Maluku Utara terhadap penindasan dan penjajahan bangsa Belanda di tanah air, khususnya di wilayah Jailolo. Sedangkan peristiwan tersebut bagi bangsa Belanda pada waktu itu, merupakan suatu peristiwa tragedi yang langsung mengancam segala kegiatan kompeni Belanda di distrik Jailolo.

Latar Belakang Timbulnya Perang Jailolo

Sejak Pemerintah langsung Belanda mengambil alih wilayah bekas VOC yang bangkrut pada tahun 1799 setelah merekrut kekayaan dari bumi Indonesia (1602-1799) maka strategi baru yang dicanangkan oleh Pemerintah Belanda di seluruh daerah jajahan adalah memperketat pelaksanaan Blasting (Pajak) dan Heredienst (Kerja Paksa), untuk memasok kekurangan di dalam negeri Belanda, terutama kesulitan moneter di dalam negeri dalam menghadapi pergolakan Perang Dunia ke-I di dataran Eropa. Tinginya penetapan pajak oleh Belanda ini memicu perlawanan dimana-mana.

Di Jailolo dan sekitarnya, masyarakat dengan tingkat kemiskinan yang hampir merata, tidak mampu melaksanakan kewajiban untuk kompeni tersebut bahkan sebagian besar tidak mau memaatuhinya. Pemerintah Belanda pada waktu itu (Gezaagheber) menanggapi situasi ini dengan sikap naik pitam. Rakyat yang bermukim di sekitar teluk Jailolo termasuk Tuada dan Tudowongi membangkang aturan kompeni atas kewajiban pajak dan kerja paksa. Mereka diancam, ditangkap dan dihukum oleh petugas Belanda yang berkuasa di Distrik Jailolo dalam hal ini Ambtenaar yang melaksanakan perintah atasannya yakni Gezaagheber=Hoofd V Plaatsliyke Bestuur (Kepala Pemerintahan setempat). Dengan segala tindakan kekerasan dan ancaman dari pihak Ambtenaar menumbuhkan sikap perlawanan dari rakyat Jailolo, mereka tidak tinggal diam begitu saja. Mereka bangkit secara spontanitas dan sporadis melawan kompeni Belanda, namun masih dalam skala kelompok-kelompok kecil dan tersebar di beberapa daerah di Jailolo.

Munculah seorang pemuda berani yang berasal dari desa Tuada yang bernama "BABA" dengan kejantanan dan keberaniannya berusaha melakukan upaya konsolidasi dengan pemimpin perlawanan di tempat-tempat lain di Jailolo dan sekitarnya. Banau mulai mangatur strategi dan menghimpun kekuatan untuk melawan pihak kompeni. Dalam suatu pertemuan rahasia yang bertempat di desa Tuada, Baba kemudian dipilih oleh mereka sebagai pemimpin perlawanan. Berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain ; kemampuan dan semangat yang dimiliki dalam diri Baba maka seluruh perwakilan dari beberapa desa di Jailolo memilih Banau sebagai pemimpin mereka dan memberi dia julukan BANAU = yang berasal dari kata Baba dan Nonau (Laki-laki/perkasa).

Banau mulai mengatur strategi untuk mengganggu iring-iringan petugas kompeni Belanda yang sedang bertugas memungut Balasting dan mentukan/memilih pemuda untuk dijadikan pekerja paksa. Anak buah Banau mengusir Ambtenaar Belanda hingga lari terbirit-birit, dan kemudian kembali ke markasnya di Gufasa untuk melaporkan kejadian penghadangan tersebut kepada atasannya. Pada hari-hari selanjutnya penghadangan ini terus dilakukan oleh kawan-kawan atas perintah Banau. Tidak jarang sering terjadi kejar mengejar antara penghadang dengan petugas kompeni Belanda.

Peristiwa Berdarah Pembunuhan Tuan AGERBEEK (Pejabat Gezaaghebber Jailolo)

Pada suatu pagi pada tanggal 12 September 1914 rakyat Jailolo berkumpul di sekitar kediaman Gezaaghebber Jailolo yang bernama Agerbeek tepatnya di rumah pos kediaman Kontroler Belanda tersebut. Tujuan mereka semula hanya berkumpul untuk menyampaikan rasa protes rakyat atas sikap kompeni belanda yang tidak toleransi dalam penagihan Pajak secara paksa terhadap rakyat Jailolo. Melihat situasi yang menghawatirkan, Tuan Agerbeek memerintahkan anak buahnya untuk menghalau massa yang telah berhimpun. Mereka memerintahkan rakyat yan berkumpul untuk menyerahkan senjata tajam dan tombak yang ada di genggamannya untuk segera dikumpulkan. Massa tidak menerima ultimatum ini dan marah sehingga mulai menyerang da merusak rumah pos yang ada serta membakar salah satu gudang di sebelah rumah kediaman pengasa Belanda tesebut. Massa pada hari massa yang dipimpin oleh Banau berteriak2 dan maju menerobos rintangan hingga sampai di kediaman Gezaaghebber Jailolo (tempat ini hingga beberapa tahun yang lalu menjadi kediaman camat Jailolo). Dengan kepanikan yang sangat tinggi, karena melihat begitu banyak massa yang sudah sejak pagi mengepung kediamannya, Gezaaghebber Jailolo menyembunyikan diri di atas loteng rumah kediamannya. Sementara di luar terdengar suara hiruk-piruk mengangkasa dari rakyat Jailolo yang yang sedang marah dan mengamuk. Masing-masing yang datang membawa serta parang, salawaku dan tombak terhunus seakan tidak sabar lagi mencari mangsa dan sasarannya. Sebagian dari mereka sudah menduduki halaman dan teras rumah kediaman Gezaaghebber Agerbheek. Banau berada di barisan terdepan dan memerintahkan beberapa anak buahnya menendang pintu kediaman dan menerobos masuk kedalam rumah, namun yang dicari tidak ditemukan. Melihat situasi ini, Banau dengan beberapa orang tersebut mengambil beberapa bilah tombak (sagu-sagu) sambil menusuk-nusuk ke atas loteng, ada beberapa anak buah Banau yang langsung naik ke atas rumah karena mereka mengetahui Gezaaghebber Agerbeek sedang bersembunyi di situ.

Keadaan sedemikian rupa, karena kesabaran rakyat Jailolo sudah tidak dapat dibendung lagi. Gezaaghebber Agerbeek dengan nekad hendak melompat dari loteng rumahnya ke tanah. Banau dengan parang terhunus telah siap menanti dari bawah. Saat Gezaaghebber Agerbeek mau akan melompat, dan bersamaan dengan itu suara pekik dan teriakan yang keluar dari mulut Banau adalah "Safa...Una" (sembelih... dia). Pedang pun terhunus ke dada Gezaagheber hingga tembus ke belakang kemudian dicincang lalu roboh ke tanah dan bersimbah darah.

Sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi di bumi Maluku Utara sebelumnya, seorang pemimpin Belanda yang sangat ditakuti untuk wilayah sebuah distrik (Jailolo) terbunuh ketika itu juga. Ia kemudian dikuburkan disamping kantor/kediamannya tersebut. Sedangkan Ambtenaar Belanda yang lainnya lari terbirit-birit untuk menyelematkan dirinya dengan perahu ke Ternate pada malam hari itu juga untuk melaporkan kejadian berdarah tersebut kepada penguasa Belanda di Ternate dalam hal ini Asisten Residen dan Penguasa Militer yang disebut Kaptein Kota. Penguasa di Ternate memerintahkan untuk segera mempersiapkan bala bantuan militer agar segera dikirim ke Jailolo untuk memulihkan situasi.

Pada tanggal 14 September 1914, dua hari setelah peristiwa, bala bantuan kompeni Belanda tiba di Jailolo dari Ternate dengan menggunakan kapal perang S.S Van Overstraten yang berlabuh di perairan teluk Jailolo, Pasukan yang dipimpin oleh Letnan Ouweriling. Karena tidak bisa merapat ke pelabuhan Jailolo, pasukan digiring untuk mendarat dengan menggunakan sekoci-sekoci kecil. Namun dari pihak Banau dan kawan-kawan tidak sedikitpun gentar menghadapi situasi ini. Mereka dengan senjata sederhana menghadang dan terjadi pertumpahan darah di sekitar pelabuhan Jailolo, senjata api pun banyak berpindah tangan ke anak buah Banau, banyak korban berguguran di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Letnan Ouweriling tewas menemui ajalnya di medan laga, sedangkan salah satu anak buah terbaiknya yang bernama Sersan Wort juga terluka parah dan kemudian dievakuasi ke Ternate. Perlengkapan perang, tambahan personil bala bantuan dan logistik terus dikirim ke Jailolo. Melihat situasi tidak memungkinkan, Banau menyingkir ke pedalaman dan melakukan satrategi "Gorela" atau dikenal dengan gerilya. Perang Jailolo tidak berlangsung lama, namun Belanda kewalahan dan tidak mampu menangkap dan menghadapi Banau dan anak buahnya yang menggnakan strategi taktis gorela-nya.

Upaya Penumpasan Pemberontakan Banau oleh Kompeni Belanda.

Pada saat-saat yang sangat genting dan rumit bagi pihak Belanda, yang mana di negerinya di dataran Eropa sana sedang berkecamuk Perang Dunia ke-I, sedangkan di dalah satu negeri di timur sini di Maluku Utara tepatnya di Jailolo sedang bergerilyanya banau dan kawan-kawan karena menuntut hak, martabat dan harga diri untuk bebas dan merdeka atas sejengkal tanah pusaka leluhurnya.

Pihak kompeni Belanda menyebarkan mata-mata dan kaki-tangannya ke pedalaman Jailolo, Susupu dan Sahu dan sekitarnya bahkan hingga sampai ke daerah Tobaru dan Ibu di selatan untuk melacak keberadaan Banau dan kawan-kawan serta perintah menangkap hidup-hidup atas diri Banau. Namun Banau telah menghilang tanpa jejak, namun masih tetap berada di sekitar hutan belantara Jailolo, ia tidak akan meninggalkan kampung halaman dan menghianati tanah leluhurnya. Kemana menghilangnya Banau? semua rakyat Jailolo bungkam seribu bahasa bila kompeni Belanda menanyakannya. Sebagian kawan-kawan Banau telah terperangkap oleh strategi kompeni Belanda dan akhirnya ditangkap, namun jejak Banau tidak pernah bisa dilacak oleh Belanda. Penguasa Belanda kewalahan menghadapi taktis strategi Banau yang menghilang puluhan hari lamanya namun yang membuat kompeni geram adalah Banau ternyata masih bisa memberikan komando jarak jauh dari tempat persembunyiannya. Banau dan beberapa orang pengikutnya masih bersembunyi di pegunungan Jailolo dan sedang dalam perjalanan menyusuri hutan belantara pegunungan Jailolo menuju ke desa Saria agar bisa menyeberangi laut menuju ke Ternate untuk menghadap Yang Mulia Sultan Ternate yang ia junjung, yaitu (Sultan Haji Muhammad Usman Syah) untuk menyerahkan diri. Banau sering berkata pada kawan-kawannya; "Lebih baik saya menyerahkan diri kepada Jou Kolano Kie se Gam toma Kadato dari pada saya menyerahkan diri kepada Kaso Bubudo Walanda".

Banau Menyerahkan Diri

Pada suatu malam yang gelap gulita, Banau bersama dua orang pengikutnya dengan menggunakan perahu dari desa Saria Jailolo mendarat di batu angus Ternate dan dengan mengendap-ngendap terus menyusuri bebatuan untuk menghindari pantauan mata-mata kompeni Belanda yang sedang memburunya. Ia kemudian menyusuri hutan sekitar batu angus menuju Raki Kolano terus ke Buku Konora melewati hutan belantara pegunungan Ternate kemudian turun dari gunung menuju ke pendopo Keraton Sultan Ternate guna menghubungi pihak Bobato dalam hal ini Sowohi agar melapor kepada Sultan bahwa Banau telah tiba dari Jailolo untuk menyerahkan diri kepada Sultan Ternate. Setelah Sowohi melaporkan kepada Sultan atas permohonan penyarahan diri Banau tersebut, Sultan kemudian memberikan titah (istilah bahasa Ternate : Jou Nga Idin Uci) agar sang pemimpin pemberontakan di Jailolo segera dihadapkan kepada Sultan malam itu juga.

Pagi besok harinya seluruh seisi Istana Sultan Ternate gempar dengan kehadiran dan penyerahan diri Banau. Berita ini akhirnya sampai ke telinga penguasa Belanda di Ternate. Pihak penguasa Belanda amat marah atas penyerahan Banau kepada Sultan Ternate, bukan menyerahkan diri kepada Kompeni Belanda di Jailolo atau di Ternate. Mendengar hal tersebut kawan-kawan Banau d Jailolo yang sedang dalam tahan dihajar habis-habisan oleh Kompeni Belanda karena merahasiakan rencana penyerahan diri tersebut.

Dengan penyerahan diri Banau tersebut, tabir kecurigaan kompeni Belanda mulai terkuak. Pihak kompeni Belandaselama ini berkesimpulan bahwa Peristiwa Pemberontakan Jailolo yang dipimpin Banau didalangi oleh Sultan Ternate. Setelah menerima penyerahan diri Banau, Sultan Haji Muhammad Usman Syah telah memperhitungkan secara matang akibat yang akan dihadapinya pasca penyerahan diri Banau tersebut. Sultan langsung menyerahkan Banau kepada Penguasa Belanda di Ternate untuk diadili. Tahanan demi tahanan yang merupakan kawan-kawan Banau diangkut dari Jailolo ke Ternate untuk diadili.

Pihak Kompeni Belanda masih terus menerus mengerahkan segala kemampuan dan peralatan perang menumpas sisa-sisa pengikut Banau di Jailolo hingga ke pedalaman agar tidak meluas ke wilayah sekitarnya. Kompeni Belanda menakut-nakuti rakyat dengan melancarkan propaganda bahwa pemimpin kalian telah kami tangkap sehingga rakyat Jailolo semakin takut untuk melakukan pembangkangan terhadap kompeni.

Banau Dihukum Mati di Tiang Gantungan.

Segera setelah penyerahan Banau ke pihak Belanda di Ternate oleh Sultan Haji Muhammad Usman Syah, Mahkamah militer Belanda bersidang untuk mengadili Banau dan kawan-kawan dengan keputusan antara lain sebagai berikut :
1. Hukuman terhadap terdakwa Banau, sebagai otak dan pemimpin pemberontakan Perang Jailolo dijatuhi hukuman mati di atas tiang gantungan.
2. Hukuman terhadap terdakwa pelaksana makar, dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun ke atas dibuang ke Nusakambangan.
3. Hukuman terhadap para terdakwa sebagai pengikut/ peserta pemberontakan yang dijatuhi hukuman kurang dari 15 tahun, dijalankan di penjara Ternate.

Setelah pemberontakan perang Jailolo ditumpas habis oleh Kompeni Belanda, terdakwa-terdakwa telah dijatuhi hukuman setimpal dengan keterlibatannya, maka yang menjadi pertanyaan disini ; Dimanakah letak apa yang disebut dengan tiang gantungan untuk mengakhiri hidup seorang Banau?
Sudah dapat dibanyangkan, betapa hebatnya siasat kompeni Belanda untuk menakut-nakuti rakyat atas hukuman mati di atas tiang gantungan, apalagi hukuman mati tersebut dilaksanakan di depan umum, bahkan seluruh rakyat diperintahkan untuk menyaksikannya. Ini dimaksudkan agar supaya nyali rakyat menjadi ciut dan pemberontakan semacam itu tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Menurut cerita sebagian orang tua-tua bahwa lokasi ting gantungan itu ada dua versi atau dua kemungkinan, yakni :
1. Berada di Ternate, alasannya; 1) Kasus Banau disidangkan di Ternate, bukan di Jailolo. 2) Berdasarkan keputusan Mahkamah Militer Belanda, tiang gantungan dibuatkan di damping apa yang disebut ketika itu "Jembatan Residen".
2. Berada di Jailolo, alasannya; Setelah keputusan disyahkan, serentak hukuman bagi setiap pelaku pemberontakan Perang Jailolo itu dilaksanakan. Mengingat peristiwa ini telah mengobarkan seorang Gezaaghebber Belanda yang ditugaskan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda untuk wilayah Jailolo dan sekitarnya, maka ada kemungkinan agar rakyat Jailolo dan sekitarnya secara moral ditakut-takuti atas hukman mati di atas tiang gantungan itu tidak akan terulang lagi, maka (sekali lagi) menurut cerita orang tua-tua, tiang gantungan itu dipasang di depan kantor Gezaaghebber waktu itu, tepatnya dsamping sumber air panas.

Seorang Banau telah memberi corak baru atas peristiwa yang dikenal dengan Perang Jailolo pada tahun 1914, dengan mewarnai rasa patriotisme. Perang tidak berlangsung lama, akan tetapi Banau secara jantan telah memberi pukulan maut terhadap Kompeni Belanda . Nyawa banau telah direnggut dengan paksa di tiang gantungan. Jenazahnya diambil oleh keluarganya dan dimandikan, dikafankan kemudian dikebumikan. Kini makam pusaranya berada di tengah anak cucunya, sekitar samping belakang sekolah Jailolo.
Sultan Ternate Dituduh Kompeni Sebagai Dalang Perang Jailolo.
Pasca hukuman gantung atas diri Banau, peristiwa penangkapa dan pengasingan Sultan Ternate menjadi peristiwa yang tak kalah penting ............................

Artikel ini belum selesai, bersambung terus.....masih dalam proses pengetikan, maklum lagi libur panjang, istirahat total dulu...
Bagian terakhir; Proses penangkapan dan pengasingan Sultan Ternate ke bandung.
Penutup; Analisa Historiografi atas kajian ini...

Catatan : Double klik pada gambar untuk melihat ukuran besar...!

Baca selengkapnya......

Profil Daerah Ternate  

Posted

Ternate adalah salah satu pulau yang terletak di sebelah barat pantai Halmahera dan merupakan salah satu dari deretan pulau-pulau vulkanis yang masih aktif Luas wilayah keseluruhannya adalah 5.681,30 Km2.

Kotamadya Ternate berbatasan dengan ;
· Sebelah utara dengan Samudera Pasifik dan perairan selatan negara Filipina
· Sebelah selatan dan barat dengan Laut Maluku
· Sebelah timur dengan pantai barat Halmahera

Selain itu, letak pulau Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota Propinsi Sulawesi Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga, sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini berkembang dalam lajur perdagangan di daerah Maluku Utara.

Luas Kotamadya Ternate sekarang berdasarkan UU No.11 thn 1999 tersebut adalah 5681,30 Km2, terdiri dari;

Wilayah Perairan : 5.457,55 Km2
* Wilayah Daratan : 133,74 Km2

Wilayah daratan mencakup 8 buah pulau yaitu;
· Pulau Ternate : 92,12 Km2
· Pulau Hiri : 7,31 Km2
· Pulau Moti : 17,72 Km2
· Pulau Mayau : 8,5 Km2
· Pulau Tifure : 7 Km2
· Pulau Makka : 0,5 Km2, tidak berpenghuni
· Pulau Mano : 0,05 Km2, tidak berpenghuni
· Pulau Gurida : 0,55 Km2, tidak berpenghuni

Jarak antar Pulau ;
· Pulau Ternate - Pulau Hiri : 1,5 mil laut
· Pulau Ternate - Pulau Moti : 11 mil laut
· Pulau Ternate - Pulau Mayau : 90 mil laut
· Pulau Ternate - Pulau Tifure : 106 mil laut
· Pulau Ternate - Pulau Makka : 1,6 mil laut
· Pulau Ternate - Pulau Mano : 1,6 mil laut
· Pulau Ternate - Pulau Gurida : 106,1 mil laut

Pulau-pulau dalam wilayah Kotamadya Ternate terletak dalam lingkup kawasan pantai barat pulau Halmahera, melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud dan Minahasa yang dilingkupi lengkung Sulawsi bagian utara. Wilayah Kotamadya Ternate terletak antara 1270 Bujur Timur dan 1270 Bujur Barat serta 30 – 3 0 Lintang Selatan.

Kotamadya Ternate berbatasan dengan ;
· Sebelah utara dengan Samudera Pasifik dan perairan selatan negara Filipina
· Sebelah selatan dan barat dengan Laut Maluku
· Sebelah timur dengan pantai barat Halmahera

Topografis ;
Pulau Ternate berbentuk bulat kerucut/strato volcano. Ciri Topografi sebahagian besar dataran bergunung dan daerah berbukit, terdiri dari pulau vulkanis dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah :
· Rogusal : Pulau Ternate, pulau Hiri dan pulau Moti
· Rensikal : Pulau Mayau, pulau Tifure, pulau Makka, pulau Mano dan pulau Gurida

Administratif ;
Kotamadya Ternate beribukota di “Kota Ternate” yang berada di pulau Ternate, memiliki 3 (tiga) kecamatan, 23 kelurahan dan 33 desa, yakni :
· Kecamatan Kota Ternate Utara, 13 Kelurahan, 4 Desa
· Kecamatan Kota Ternate Selatan, 10 Kelurahan, 9 Desa
· Kecamatan Pulau Ternate, 22 Desa

Ekonomis ;
Kedudukan kota Ternate adalah sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan yang sangat strategis dan penting sekali di kawasan ini. Do Kota Ternate terdapat Pelabuhan Samudera “Ahmad Yani” dan Bandar Udara “Babullah”. Kota Ternate itu sendiri berlokasi di pesisir timur pulau Ternate menghadap pulau Halmahera posisi ini sangat potensial. Kedudukan yang demikian ini menyebabkan kota Ternate memiliki peranan yang sangat penting dalam ekonomi perdagangan lintas Halmahera.

Selain itu, letak pulau Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota Propinsi Sulawesi Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga, sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini berkembang dalam lajur perdagangan di daerah Maluku Utara.

Penduduk ;
Perkembangan penduduk Kotamadya Ternate selama lima tahun terakhir mengalami kecenderungan peningkatan khususnya di wilayah kecamatan Kota Ternate Selatan dan kecamatan Kota Ternate Utara.

Peningkatan ini disebabkan faktor urbanisasi, migrasi maupun dari kawasan pulau Halmahera akibat konflik etnis beberapa waktu yang lalu, dan migrasi dari regional lain dari Sulawesi, Ambon, Papua bahkan dari Kalimantan, Jawa dan Sumatera.

Meningkatnya arus urbanisasi dan migrasi juga disebabkan oleh semakin terbukanya arus transportasi laut yang menghubungkan kota Ternate dengan kawasan sekitarnya dan beberapa kota lainnya.

Berdasarkan registrasi penduduk Kotamadya Ternate pada akhir desember 1999, jumlah penduduk sebanyak 115.787 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 57.886 jiwa dan perempuan 57.901 jiwa. Usia kerja 76.447 jiwa. Dari usia kerja ini terdapat usia kerja produktif 38.731 jiwa yang terbagi atas yang bekerja 31.707 jiwa dan pencari kerja 7.024 jiwa.

Kepadatan rata-rata penduduk Kotamadya Ternate sejak tahun 1999 adalah 865 Jiwa/km2, dengan laju pertumbuhan rata-rata 3% dengan kontribusi kelahiran, urbanisasi dan migrasi hampir sama yang tersebar di 3 (tiga) wilayah kecamatan yang jumlah penduduknya terbanyak, dimana tingkat kepadatan tertinggi adalah ditempati oleh kecamatan Kota Ternate Selatan, yaitu 1.637 Jiwa/km2, kemudian urutan kedua ditempati kecamatan Kota Ternate Utara dengan 1.592 Jiwa/km2, serta urutan ketiga kecamatan Pulau Ternate 246 Jiwa/km2.

Pendidikan ;
Kondisi pendidikan di Kotamadya Ternate secara umum sudah semakin membaik, walaupun harus diakui bahwa dari segi kualitas perlu terus dikembangkan karena masih jauh dibanding dengan kota–kota di wilayah pulau Jawa.

Sarana pendidikan yang tersedia mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga tingkat Perguruan Tinggi ialah :
· Kelompk Bermain : -
· Sekolah Taman Kanak-Kanak : 48 unit
· Sekolah Dasar : 83 unit
· SLTP : 18 unit
· SMU : 15 unit
· Akademi : 2 unit
· Perguruan Tinggi : 2 unit

Sementara itu jumlah para guru/pengajar yang tersedia secara kuantitas sudah hampir memadai hanya saja untuk bidang studi tertentu perlu mandapatkan perhatian. Begitu juga dengan tenaga dosen di Perguruan Tinggi baik di UIVERSITAS KHAIRUN (Universitas Negeri Ternate) maupun STAIN serta AKPER dan AKBID telah ditingkatkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dengan menempuh jenjang pendidikan S2 maupun S3.

Baca selengkapnya......

Old Ternate Palace & Old Mosque In Ternate



View of Ternate Town

Klik Tampilan Slide