Mayoritas penduduk Ternate menganut Islam Sunni. Namun tak bisa dipungkiri, terdapat pula sejumlah praktik keagamaan yang berakar dari tradisi Syi'ah. Dalam hal ini, Syi'ah memiliki arti kelompok, partai, atau pengikut. Kata ini merujuk pada pengikut Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama Ahl al-Bait. Kecuali masalah imamah, antara kaum Syi'ah dan Ahl Sunnah Wal Jama'ah hampir tak terdapat perbedaan.
Tak diketahui siapa yang membawa dan kapan praktik-praktik Syi'ah ini masuk ke sana, seperti ta'ziah dan perayaan 'asyura. Artikel ini mencoba menelusuri jejaknya berdasarkan catatan sejarah dan pengalaman penulis sebagai orang asli Ternate. Kajian ini tentu saja belum memadai, tapi mudah-mudahan berguna sebagai langkah awal menuju penelitian lanjutan yang lebih komprehensif.
Umumnya disepakati bahwa proses Islamisasi di Nusantara berlangsung seiring dengan kegiatan dagang antara berbagai komunitas yang mendiami pulau-pulau di Indonesia dengan orang Arab, Persia, Gujarat, dan Cina. Ini telah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Prof L.W.C. van den Berg menyatakan, kepulauan Indonesia telah didatangi orang Arab dari Teluk Persia dan Laut Merah sebelum zaman Islam. Tapi Nusantara baru mencapai puncak keramaian pada zaman Kerajaan Bani Abbas (sekitar 800-1300 M).
Jalur perdagangan yang ditempuh waktu itu adalah Teluk Persia, Cina , dan Indonesia. G.R. Tibbets mengatakan, pada abad VIII dan IX terdapat laporan pedagang Arab Muslim yang menunjukkan adanya rute pelayaran yang pasti melalui pelabuhan laut Asia Tenggara, terus bersambung hingga ke negeri Cina. Seorang ahli sejarah Muslim mencatat bahwa hubungan timbal balik antara orang Cina dan Arab paling awal terjadi pada abad ke-5.
Prof. Wan Hussein Azmi, guru besar Universitas Kebangsaan Malaysia, mengatakan sekitar abad VII, saudagar Arab hilir mudik berniaga di Jazirah Nusantara. Ia menegaskan Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad ke-1 Hijrah, langsung dari tanah Arab. Barang-barang Indonesia seperti emas, lada, kapas, madu, rotan, serta kayu cendana, dibeli para pedagang Muslim untuk dijual di pasar Timur Tengah, Laut Tengah, dan Cina. Memang pada abad ke-15, jaringan perdagangan Asia, dengan Malaka sebagai pusat, merupakan kawasan perdagangan yang canggih dan luas.
Tapi Malaka tak cuma berperan sebagai sentra perdagangan Asia. Ia juga dianggap sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Dari sini kemudian Islam menyebar ke daerah utara, pantai timur hingga selatan Pulau Sumatera, terus ke pesisir utara Pulau Jawa dan Kalimantan. Maluku atau spice islands, dengan Ternate sebagai sentrum, baru menjadi bagian dalam jaringan perdagangan Malaka pada abad ke-15. Cengkeh dan pala merupakan komoditas yang diincar para pedagang Jawa, Melayu, Arab, Cina, dan Persia untuk dijual di pasar Malaka, Jawa, atau dilego langsung ke pasar Timur Tengah dan Laut Tengah.
Fenomena ini kemudian menimbulkan spekulasi para sejarawan bahwa Islam mulai masuk ke Ternate pada abad ke-15, saat kejayaan Malaka mencapai puncaknya. Antonio Galvao (1536-1539), kapten benteng Portugis di Ternate, mencatat bahwa Ternate memeluk Islam yang disebarkan dari Malaka pada 1460, mengingat terdapat jalur perdagangan melalui utara, yaitu jalur Ternate-Sulawesi Utara-Sulu-Brunei-Malaka. Di sini Galvao memperoleh keterangan langsung dari masyarakat Ternate sendiri.
Rijali, pencatat peristiwa pada awal zaman Maluku yang hidup di Ambon pada awal abad ke-17, menyusun sebuah dokumen dalam bahasa Arab berdasarkan kisah-kisah tradisional. Pada mulanya (sekitar abad ke-13), demikian Rijali, Ternate dihuni orang-orang dari Jailolo (Halmahera Utara). Selama 250 tahun berikutnya, masih menurut Rijali, suku Molematiti di Ternate, dan dinasti dari 20 penguasa berikutnya, memimpin transformasi bertahap penduduk Ternate dari manusia kafir tak beradab menjadi pengikut Nabi Muhammad saw.
Kemajuan besar pertama terjadi pada masa kekuasaaan Raja Gapi Baguna (1432-1465), yang mengundang saudagar Cina, Arab, dan Jawa untuk menetap di Ternate dan memanfaatkan pengetahuan serta keterampilan mereka yang unggul. Ia lalu terpesona oleh seorang saudagar Muslim dari Jawa, Maulana Husein, yang kemudian membimbingnya bersama pejabat Istana lain, masuk Islam.
Menurut Cesar Adib Majul, Islam masuk ke Ternate pada tahun 1478, yakni berbarengan dengan jatuhnya kerajaan Majapahit. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Islam dibawa para muballigh dari Jawa. Dari keterangan di atas terlihat ada perbedaan pendapat mengenai asal usul masuknya Islam ke Ternate. Galvao mengatakan, Islam yang masuk ke sana berasal dari Malaka. Sementara Rijali dan Cesar berpendapat dari Jawa. Namun periode masuknya kurang lebih sama, yaitu paro pertama abad VX.
Namun, Naidah dalam sejarah Ternate-nya menyatakan, kawasan ini telah masuk Islam sejak abad ke-13. Pembawanya adalah Ja'far Shodiq yang tiba di Ternate dari Jawa pada Senin, 6 Muharram 643 H/1250M. Ja'far Shadiq yang nasabnya dihubungkan dengan Imam Ali b. Abi Thalib, kawin dengan putri setempat bernama Nur Sifa. Sebelumnya, Ja'far Shadiq pernah kawin di Jawa dan memperoleh 10 anak. Dari perkawinan dengan Nur Sifa, ia memperoleh empat putra dan empat putri. Salah satu putranya, Mansur Malamo, di tetapkan sebagai raja pertama Ternate, setelah berhasil mempersatukan empat kelompok masyarakat Ternate yang suka berperang itu. Raja pertama ini memerintah sejak 1257-1277. Tiga putra lainnya berkuasa di pulau Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Laporan Naidah ini terbilang menarik lantaran ia mempresentasikan Ja'far Shadiq, Muharram, dan 'Ali b. Ali Thalib, yang kesemuanya merupakan bagian dari wacana Syi'ah. Namun ini pun harus di pandang secara kritis berdasarkan kenyataan berikut. Pertama, laporannya tidak bersumber dari bahan tertulis atau didukung hipotesis yang logis. Kedua, ia bekerja sebagai pejabat istana Ternate yang, dengan sendirinya, menjaga kepentingan kerajaan.
Sebagaimana diketahui, persaingan memperebutkan hegemoni di antara empat kerajaan Maluku itu melibatkan pula agama dan Ahl al Bait. Kedua unsur ini agaknya menjadi faktor legitimasi bagi kepemimpinan politik di Maluku, bahkan juga di kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara seperti Aceh, Jawa, dan Kalimantan. Dalam hal ini, klaim sebagai pihak yang lebih dulu masuk Islam serta faktor Ahl al Bait menjadi sumber legitimasi tersebut. Toh, Tidore, Bacan, dan Jailolo juga mengklaim sebagai pihak yang paling duluan masuk Islam serta menghadirkan tokoh keturunan Nabi Muhammad.
Dalam laporan lain, berdasarkan tradisi lisan setempat, pada abad VIII empat orang Syeikh dari Irak tiba di Maluku Utara. Mereka merupakan pemeluk Islam Syi'ah. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, di mana golongan Syi'ah dikejar-kejar penguasa Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah.
Mereka terdiri dari Syaikh Mansur yang kemudian menyiarkan Islam di Ternate dan Halmahera muka, Syaikh Yakub yang mengislamkan Tidore dan Makian, serta Amin dan Yakub yang berdakwah di Halmahera Tengah. Akan tetapi, isi laporan ini pun harus pula dicermati secara kritis, terutama lantaran sulit dibuktikan. Di puncak gunung Gamalama dan Gunung Kie Besi (Pulau Makian), memang terdapat kuburan-kuburan keramat yang dikatakan sebagai makam Mansur dan Yakub. Namun, bagaimana bisa dipastikan bahwa makam-makam tersebut milik kedua tokoh tersebut? Amin dan Umar, yang tak meninggalkan jejak apapun, disebut-sebut kembali ke Irak.
Adanya laporan berbeda ini memaksa kita untuk mendefinisikan pengertian masuknya Islam ke suatu daerah. Paling tidak, terdapat tiga pengertian sekaitan dengan masalah ini. Pertama, suatu daerah dikatakan telah masuk Islam bila di dalamnya terdapat satu atau lebih orang asing beragama Islam. Kedua, bila di daerah tersebut sudah terdapat satu atau lebih penduduk asli menganut Islam. Ketiga, bila Islam telah melembaga di daerah tersebut.
Berdasarkan definisi ini, kita dapat merekonstruksi proses Islamisasi di Ternate ke dalam tiga periode. Periode awal berlangsung sejak pertengahan abad VIII, di mana orang Arab dan Persia Muslim Syi'ah membeli cengkeh dan pala di Maluku untuk dijual ke Eropa melalui pelabuhan Baghdad. Orang Muslim Perlak yang menganut Syi'ah pun sudah berperan dalam periode ini. Sebagai masyarakat sebuah kerajaan yang sedang berkembang, tentunya cengkeh dan pala menjadi komoditas yang dicari di pelabuhan Perlak, yang hingga abad ke-9 merupakan kerajaan Syi'ah. Masuknya mereka ke Maluku, setidaknya memberi pengaruh kepada penduduk setempat.
Periode kedua dimulai sejak abad ke-12, di mana penyiaran Islam telah disampaikan ke kalangan penduduk. Yang ikut berperan dalam periode ini adalah orang Muslim Cina, selain Arab dan Persia. Ini ditandai dengan mulai digunakannya nama-nama Arab-Islam oleh para raja di Maluku Utara. Periode ketiga yang dimulai pada abad ke-15 berlangsung sejak penerimaan Islam oleh pihak elite kesultanan.
Zaenal Abidin adalah Sultan ke-19 yang menukar agama jahiliyah dengan Islam. Yang paling banyak memainkan peran penting dalam periode ini adalah para muballigh Jawa yang menganut faham Aswaja. Kedatangan orang Muslim Arab dan Persia berfaham Ahl al Bait ini berkaitan dengan terjadinya pergolakan sosial-politik di wilayah daulah Umayah dan kemudian daulah Abbasiyah.
Ini bukan sesuatu yang mustahil, sebab sejak awal Syi.ah telah masuk ke Nusantara. Sebuah monumen ditemukan di Champa, Vietnam, yang terdiri dari batu nisan yang dibuat tahun 1039 serta sebuah tiang batu dengan aksara Arab bertarikh 1025-1035. M.P. Ravaisse yang menyelidiki tulisan tersebut mengatakan bahwa tampaknya isi dokumen ini menunjukkan bahwa di tempatnya ditemukan, sejak abad XI terdapat sebuah masyarakat kota. Mereka lain dari penduduk asli.
Paham keagamaan dan adat istiadatnya juga berbeda. Kakek moyang mereka mestinya tiba satu abad sebelumnya. Menurut Dr. S.Q.Fatimi, mereka adalah orang Arab Syi'ah. Ini lebih jelas dikemukakan Wan Hussein Azmi. Menurutnya, semenjak kerajaan Islam berdiri di Taj Jihan pada pertengahan abad ke VII, Islam makin berkembang di Sumatera Utara setelah saudagar Muslim Arab datang ke Nusantara.
Di samping itu, dengan dibukanya negeri Persia oleh kaum Muslimin pada 650H, orang-orang Persia dengan penuh suka cita berduyun-duyun masuk Islam dan banyak darinya yang hijrah ke Nusantara. Di antara keluarga Persia yang berimigrasi ke Nusantara terdapat keluarga Javani, Lor, Sabankarah, dan Asyraf.
Di samping itu terdapat satu faktor utama yang menyebabkan saudagar Muslim Arab dan Persia bercokol di Sumatera Utara pada abad ke-7, yaitu terhalangnya jalur pelayaran yang mereka tempuh melalui Selat Malaka akibat disekat armada Budha Sriwijaya sebagai balasan serangan tentara Islam ke kerajaan Hindu di Sind, India, pada zaman pemerintahan Khalifah al-Hadi (775-785 M). Maka, terpaksa kapal-kapal Arab dan Persia menempuh pelayaran melalui Sumatera Utara terus ke pesisir barat Sumatera, kemudian masuk Selat Sunda melalui Singapura menuju Kanton, Cina.
Perlak sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman di abad VIII menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Dengan demikian, masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan Muslimin dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Dan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, yakni pada hari selasa bulan Muharram, 840 M.
Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Mereka menguasai Perlak hingga muncul pergolakan antara golongan Syi'ah dan Ahl Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja) pada tahun 928 M.
Wan Hussein Azmi mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far b. Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir b. Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh.
Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak. Bisa jadi, ada di antara mereka yang kemudian meneruskan perjalanan ke Ternate. Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas partai Syi'ah.
Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun b. Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali b. Abi Thalib, bernama Muhammad b. Ja'far Shadiq b. Muhammad Baqr b. Zaenal Abidin b. Husein b. Ali b. Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad b. Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Malah Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi.
Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammab b. Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi meurah (raja) Negeri Perlak.