Oleh sebab itu, keberadaan gunung selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa ritual tertentu. Sebuah gunung dianggap mewakili sosok yang mengagumkan sekaligus mengancam, sehingga diperlukan upacara penghormatan supaya keberadaannya menjamin ketentraman, keamanan, dan keberadaan masyarakat di sekitarnya. Demikian menurut Leonard Andaya.
PENGERTIAN & MAKNA FILOSOFI
Secara etimologi, kata “Kololi Kie” berasal dari bahasa asli Ternate yakni gabungan dari dua kata, yaitu ; kata “kololi” yang berarti keliling atau mengintari dan kata “kie” yang berarti gunung, pulau, darat atau juga berarti daratan. Jadi, pengertian kata Kololi Kie secara umum bermakna; kegiatan mengitari atau mengililingi pulau/gunung. Ada istilah lain yang mempunyai arti serupa yang juga populer di masyarakat Ternate terhadap kegiatan kololi kie ini, yaitu "Ron Gunung". Ritual kololi kie ini sudah dilakukan oleh masyarakat Ternate sejak ratusan tahun lalu. Ritual adat ini merupakan salah satu dari dua ritual tertua yang dianggap satu paket, yakni ritual “Fere Kie” yaitu kegiatan ritual naik ke puncak gunung Gamalama untuk berziarah. (tentang ini akan dibahas dalam tersendiri sesudah tulisan ini).
Tradisi ritual adat kololi kie ini, jika dilihat dari sisi “route” yang dilalui, maka terdapat dua jalur yang bisa dilalui, yaitu; melalui jalur laut dan melalui jalur darat.
1). Jalur Laut, (=Kololi kie toma ngolo).
Kendaraan yang dugunakan pada kegiatan ritual adat kololi kie toma ngolo ini adalah perahu atau kapal ukuran sedang. Saat ini biasanya menggunakan perahu atau kapal bermotor, sedangkan pada jaman dahulu hal itu dilakukan dengan menggunakan perahu tanpa mesin, yakni mendayung dengan tangan.
2). Jalur Darat, (=Kololi kie toma nyiha / nyiho).
Kololi kie toma nyiha (sering disebut juga nyiho) biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu; dengan menggunakan kendaraan (mobil atau motor) dan dengan berjalan kaki, tapi yang terakhir ini sudah jarang dilakukan lagi.
Jika dilihat dari aspek “niat” atau “hajat” untuk melaksanakan ritual ini, maka ritual adat kololi kie ini dibagi atas tiga kategori, yaitu ; niat atau hajat perorangan, hajatan kelompok, dan hajatan besar dari pihak kesultanan.
1). Niat / Hajatan Perorangan
Hajat perorangan biasanya dilakukan oleh seseorang apabila mencapai apa yang dicita-citakannya tercapai, maka ia ber-nazar akan melakukan ritual adat kololi kie ini sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Selain melalui sholat, masyarakat tradisional Ternate juga menziarahi para leluhur mereka yakni ke makam-makam dan keramat para sufi, para mubaligh dan tempat-tempat yang dianggap “Jere” (makam keramat beberapa ulama tasawuf Ternate jaman dahulu) yang dalam bahasa Ternate ulama tasawuf ini disapa “Joguru Lamo” atau ’”Khalifah” yang makam keramatnya tersebar di sekelilingi pulau ini.
Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajat perorangan ini biasanya jarang dilakukan melalui laut, tapi kebanyakan melalui darat dengan menggunakan kendaraan darat baik mobil atau motor. Ritual adat ini biasanya dilakukan oleh seseorang apabila ia hendak merantau atau kembali ke kampung halaman setelah sekian lama merantau, atau juga mereka yang hendak melakukan pernikahan, atau sembuh dari penyakit yang lama diseritanya.
Hingga saat ini masih saja ada beberapa calon jemah haji di pulau Ternate yang hendak melakukan ibadah haji ke tanah suci, sebelum belaksanakan rukun haji, mereka juga melakukan kegiatan ritual adat Kololi Kie dan Fere Kie ini dengan niat menziarahi makam atau jere para sufi dan mubaligh Ternate jaman dahulu yang telah berjasa memperkokoh tegaknya syariat Islam di jazirah Moloku Kie Raha yakni di Ternate dan sekitarnya yang menurut pandangan mereka bahwa aqidah Islam yang dianut hingga saat ini dan masih tetap terpelihara turun-temurun hingga sampai pada dirinya yang saat ini hendak menjalankan rukun Islam yang kelima ke tanah suci Mekkah adalah hasil jerih payah para leluhur dalam menegakkan syariat Islam waktu itu.
2). Niat / Hajatan Kelompok
Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajatan kelompok kebanyakan dilakukan melalui jalur laut (kololi kie toma ngolo). Maksudnya juga sama yaitu melaksanakan nazar yaitu ungkapan rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT sekaligus menziarahi makam-makam dan jere para sufi. Ritual adat ini biasanya dilakukan apabila kerabat atau keluarga batih ataupun kelompok yang hendak mendirikan rumah, hendak panen rempah-rempah atau mereka yang selamat dari malapetaka, bencana atau wabah.
3). Niat / Hajatan Besar dari Kesultanan Ternate
Ritual adat kololi kie pada hajatan besar dari kesultanan adalah merupakan kegiatan ritual terbesar yang dilakukan setiap tahun. Ritual adat ini dilakukan secara besar-besaran dan sangat meriah terutama di sepanjang route yang dilaluinya. Route yang dilalui hanya melalui jalur laut, (kololi kie toma ngolo). Kata “toma ngolo” dalam bahasa Ternate berarti “di laut”.
Sedangkan jika dilihat dari aspek “proses verbalitas”, kegiatan ritual adat kololi kie ini, menurut penulis setidaknya terdapat 6 (enam) makna filosofis dan pedagogis yang bisa dijelaskan kepada para pembaca dalam deskripsi tulisan ini, diantaranya adalah;
1). Ritual adat kololi kie ini merupakan suatu kegiatan “napak tilas” dari sejarah proses kedatangan dan berlabuhnya tokoh legendaris “Maulana Sayyidinaa Syekh Djaffar Shaddiq” sang pembawa agama Islam pertama kali ke pulau Ternate ini dan kemudian menyebarkan siar Islam ke seluruh jazirah Maluku bagian utara. Sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat setempat menurut legenda yang ada bahwa sebelum tokoh ini mendaratkan perahunya di pulau Ternate, beliau terlebih dahulu mengitari pulau ini untuk melihat situasi sekaligus mencari tempat yang pantas untuk berlabuh. Akhirnya “Ake Sibu” atau yang sekarang dikenal “Ake Rica” yang berada di desa / kelurahan Ruwa saat ini, adalah tempat yang dipilih untuk berlabuh ketika itu.
2). Sependapat dengan sejarawan Leonard Andaya yang sudah penulis sebutkan di awal tulisan ini bahwa ada makna lain yang tersirat dari kegiatan ritual adat kololi kie ini. Hal ini merupakan aplikatif dari ungkapan masyarakat dan penduduk pulau ini terhadap sebuah kekuatan alam yang berbentuk ancaman berupa bencana alam yang ditimbulkan oleh gunung berapi Gamalama yang dianggap oleh mereka sebagai representasi penguasa alam. Bagi masyarakat tradisional di Ternate, keberadaan gunung Gamalama harus selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa ritual tertentu seperti ritual adat kololi kie ini.
3). Sedangkan makna utama dari ritual adat kololi kie ini adalah aktivitas ritual untuk menziarahi makam dan keramat para auliyah, mubaligh, dan beberapa orang ulama tasawuf Ternate jaman dahulu. Makam-makam keramat mereka ini tersebar di tempat-tempat tertentu di sekelilingi pulau ini, sehingga untuk menziarahi keseluruhannya dalam waktu yang bersamaan, harus dilakukan dengan mengitari pulau tersebut. (orang Ternate menyebut makam-makam para Joguru Lamo di jazirah ini dengan istilah “Jere”).
4). Makna verbalistis yang bisa dipetik dari ritual adat kololi kie ini juga adalah mendoakan untuk keselamatan dan kemaslahatan negeri “Limau Gapi” ini baik di darat maupun di laut agar tetap kokoh sebagaimana tegaknya huruf alif dan berada dalam satu wadah laksana sebuah perahu yang bentuk seperti huruf baa, serta mensyukuri atas apa yang telah dilakukan oleh para mubaligh dan para sufi pendahulu di negeri para raja-raja ini, seperti; telah diletakkannya dasar aqidah Islam dan ke-tauhid-an yang tetap ada dan masih dipertahankan hingga anak cucu sekarang ini.
Sikap bersyukur dan ungkapan terima kasih tersebut diekpresikan dengan cara tradisional yakni kegiatan ritual menziarahi tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai tempat makam atau Jere mereka yang berada di sekeliling pulau ini. Kebiasaan inilah yang kemudian menjadi suatu tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini, yang kita kenal dengan ritual kololi kie ini. Menurut saya pribadi sebagai penulis, tradisi ini merupakan asset budaya daerah yang harus tetap dilestarikan oleh Pemda setempat.
5). Ritual adat kololi kie ini adalah juga kegiatan “napak tilas” yang wajib bagi setiap warga pribumi Ternate jaman dahulu, yakni melakukan patroli darat dan laut dari kampung ke kampung untuk berjaga-jaga dan memantau situasi kampung-kampung dan perairan sekitar jikalau adanya ancaman yang datang dari pihak luar terhadap penduduk dan warga pesisir di sekeliling pulau Ternate melalui jalur laut. Hal ini sering dilakukan pada masa lampau oleh pasukan angkatan laut kesultanan Ternate dengan “Armada Kora-Kora” dalam memantau situasi negeri sepanjang pantai dan lautan sekeliling pulau Ternate waktu itu.
Makna pedagogis yang tersirat dari tradisi ritual adat ini adalah mengajari kita tentang kewaspadaan territorial nasional dalam artian sempit (khusus lingkungan wilayah territorial kedaulatan kesultanan) atas gangguan-gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang datang dari pihak luar.
6). Makna pedagogis yang tersirat sebenarnya adalah "kebersamaan". Mengapa penulis berasumsi demikian? karena sejak mulainya perjalanan ritual ini, tidak ada dari perahu-perahu peserta tersebut yang berkejar-kejaran atau saling mendahului. Semua dalam rasa dan nuansa kebersamaan. Semua sudah tahu dan menyadari bahwa perahu atau kapal yang ditumpangi Sultan adalah yang paling depan dan menjadi penjuru iring-iringan. Perahu yang berseliweran ke kiri atau ke kanan ataupun kadang kadang berubah posisi konfigurasi hanya perahu atau speedboat yang ditumpangi para juru dokumenter yang mengabadikan gambar kegiatan ini, baik melalui handycam maupun dengan camera. namun demikian hampir setiap peserta dalam rombongan juga memiliki peralatan dokumentasi pribadi masing-masing.
Catatan tambahan Penulis :
Bahwa dari makna filosofis dan pedagogis dalam ritual adat ini yang sudah penulis sebutkan di atas, akan terlihat jelas sekali pada tahap-tahap pelaksanaan ritual adat ini. Jika anda berada di Ternate dan ikut serta dalam ritual ini dan perhatikan dengan seksama, tentu anda pasti tahu seperti apa tahap-tahap pelaksanaan ritual adat ini termasuk pembacaan doa-doa khusus di tempat-tempat khusus yang dilewati sepanjang jalur kololi kie tersebut. (dijelaskan pada sub judul tentang tahap-tahap, di bawah…).
Bahwa arah pergerakan semua kegiatan ritual adat kololi kie untuk mengelilingi pulau ini, baik melalui jalur darat maupun melalui jalur laut, adalah dilakukan berlawanan arah dengan putaran arah jarum jam. Penulis yang juga putra daerah asli Ternate pernah beberapa kali turut serta dalam rombongan ritual ini, baik kololi kie toma ngolo maupun kololi kie toma nyiha.
Nara sumber penulis yang minta dirahasiakan identitasnya menjelaskan bahwa arah mengintari atau perputaran dalam ritual adat kololi kie ini yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam adalah menyamakan arahnya persis seperti pelaksanaan tawaf oleh jemah haji yang mengelilingi kabah di Mekkah.
Asumsi penulis, putaran arahnya memang sama atau disamakan sejak awalnya mulanya pelaksanaan ritual ini dahulu, tapi hakekat dan makna mungkin berbeda. Wallahu wa’lam ? Tidak ada penjelasan detail dari nara sumber.
Perihal sebutan, orang Ternate menyebut pulau mereka dengan sebutan “Limau Gapi” dan menyebutkan nama gunungnya dengan sebutan “Kie Gam Lamo” (=negeri yang besar) yang merupakan asal kata dari sebutan Gamalama yang kita tahu sekarang ini, kata “Gam Lamo” diucapkan oleh orang Portugis dan Belanda dengan ucapan Gamma de Lamma yang akhirnya diucapkan menjadi Gamalama hingga sekarang ini. Nama gunung ini kemudian dipakai oleh artis serba bisa Dorce Gamalama, setelah mendapat restu langsung dari Sultan Ternate, Drs. H. Mudafar Syah, sesuai pengakuan ybs di acara TV, Dorce Show.
Perihal sebutan orang Ternate terhadap pulau-pulau sekitarnya. Misalnya pulau Tidore yang oleh orang Tidore sendiri menyebutnya dengan sebutan “Limau Timore” atau “Todore” dan menyebut gunung Tidore dengan sebutan “Kie Matubu” (=gunung yang tertinggi) namun orang Ternate menyebutnya dengan “Limau Duko”. Orang Ternate juga menyebut pulau Moti dengan sebutan “Limau Tuanane” sedangkan gunungnya disebut “Kie Moti”. Demikian juga orang Ternate menyebut pulau Makian dengan sebutan “Mara” sedangkan gunungnya disebut “Kie Besi”.
TAHAP-TAHAP RITUAL INI
Khusus pada pelaksanaan ritual adat kololi kie toma ngolo (melalui jalur laut), selalu diawali tepat di perairan depan keraton kesultanan Ternate, yakni dari ujung jembatan kesultanan (semacam pelabuhan kerajaan jaman dahulu) yang dikenal dengan nama jembatan “Dodoku Ali” atau “Dodoku Mari”. Walaupun kadang-kadang para peserta menaiki perahu dari pelabuhan Dufa-Dufa, tapi tetap harus menuju ke posisi awal ini untuk mulai pelaksanaan ritual keliling pulau ini.
Pembahasan tentang tahap-tahap dalam pelaksanaan ritual kololi kie ini dalam tulisan ini adalah ritual adat kololi kie pada hajatan besar dari kesultanan yang merupakan kegiatan ritual adat terbesar yang dilakukan setiap tahun, yang menjadi salah satu paket dari upacara adat pesta rakyat yang dikenal dengan “Legu Gam”.
Sebelum rombongan Sultan dan para pembesar kerajaan menaiki perahu masing-masing, Imam Agung Kesultanan di Masjid Sultan Ternate yang bergelar “Jou Qalem” atau “Kadhi” yang akan membacakan doa keselamatan di jembatan ini. Usai berdoa, sultan diikuti para pembesar kerajaan serta para pemimpin soa (kampung) yang bergelar “Fanyira” akan menaiki perahu masing-masing.
Perahu yang ditumpangi Sultan, Permaisuri dan para pembesar kerajaan biasanya dihiasi lebih megah dan memiliki ukuran yang lebih besar dan selama perjalanan senantiasab selalu berada paling depan dari semua rombongan yang turut serta. Perahu besar ini dijuluki dengan sebutan “oti Juanga” yang dihiasi ukiran kepala naga di bagian haluan dan ekor naga di buritan. Selain itu dihiasi pula dengan umbul-umbul dan bendera kebesaran kesultanan.
Sementara perahu-perahu berukuran lebih kecil lainnya yang disebut “oti kora-kora ici” dinaiki oleh para kepala soa (Fanyira) yang selalu berdiri di haluan depan dan masyarakat umum lainnya sebagai penumpangnya. Dalam beberapa tahun terakhir ini diikutsertakan juga perahu modern seperti Speedboat viber untuk meramaikan kegiatan ini.
Kegiatan ritual adat ini diawali dengan mengitari pusaran kecil di perairan depan keraton kesultanan Ternate, dan biasanya seluruh rombongan armada mengitari perahu yang ditumpangi sang Sultan, Permaisurinya dan para pembesar kesultanan lalu disertai pembacaan beberapa doa khusus, masing-masing :
1). Khusus pada putaran pertama dibacakan doa “Asmih”, lalu
2). Pada putaran yang ke-2 dibacakan doa “Taiyyibi”, sedangkan
3). Pada putaran ke-3 dibacakan doa “Abdul Qadir Djaelani”.
Pada kegiatan ritual adat kololi kie kategori hajatan kesultanan yang dilakukan secara besar-besaran (seperti yang terlihat dalam gambar-gambar ini), pembacaan doa-doa ini biasanya dilakukan oleh salah satu dari lima orang imam besar mesjid kesultanan. Pembacaan doa dilakukan di depan tempat duduk sang Sultan (Jou Kolano) dan Permaisuri (Jou ma Boki) yang sudah disiapkan di atas geladak salah satu perahu / kapal motor yang mereka tumpangi saat itu. Tempat duduk Sultan dan Permaisuri selalu dibungkusi dengan kain warna putih.
Untuk meramaikan suasana upacara ritual ini, sejak dahulu tiap perahu dilengkapi dengan berbagai alat musik, seperti tifa, gong, dan fiol (sejenis alat musik gesek) yang terus-menerus dikumandangkan untuk mengiringi sepanjang perjalanan rombongan armada Kololi Kie ini hingga selesai atau istirahat di Ake Rica.
Dalam perjalanan mengelilingi pulau ini, rombongan perahu akan berhenti di beberapa tempat untuk melakukan tabur bunga dan memanjatkan doa. Tempat persinggahan yang agak lama dan biasanya peserta rombongan turun ke darat adalah di Ake Rica ini. Ritual adat ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para leluhur kesultanan yaitu; Syai’idinaa Maulana Syekh DjaffarShaddiq sang pembawa agama Islam ke pulau ini.
Perlu digaris bawahi bahwa dalam ritual adat kololi kie di pulau Ternate ini, semua peserta yang ikut dalam pelaksanaan ritual ini akan melewati 4 (empat) sudut utama dari lingkaran pulau Ternate. Istilah untuk keempat sudut ini adalah “Libuku Raha” (libuku=sudut, raha=empat). Dalam ritual ini terdapat terdapat 13 (tiga belas) titik keramat yang wajib diziarahi sepanjang route mengelilingi pulau hingga kembali ke posisi semula. Keempat sudut utama yang disebut Libuku Raha ini adalah :
1). Tabam ma-Dehe
2). Buku Deru-Deru
3). Banding Mari Hisa
4). Foramadiyahi
Sedangkan ke-13 (tiga belas) titik keramat dimaksud tersebut, diantaranya adalah :
1). Kadato ma-Ngara
2). Jere Kubu Lamo
3). Libuku Tabam ma-Dehe
4). Jere Kulaba
5). Sao Madaha (di Sulamadaha)
6). Libuku Buku Deru-Deru
7). Libuku Bandinga Mari Hisa
8). Ruwa Ake Sibu (Ake Rica)
9). Jere toma Foramadiyahi
10). Ngade (gam ma duso)
11). Talangame
12). Benteng Oranye / Malayu Cim
13). Jere toma Sigi Lamo
Setelah tiga kali mengitari pusaran kecil di perairan depan keraton kesultanan, seperti yang penulis uraikan di atas, armada kololi kie ini memulai perjalanan ke arah utara yang berlawanan dengan arah jarum jam.
Setelah perjalanan sekitar 15 menit atau sekitar 6 km dari depan keraton kesultanan Ternate, rombongan armada kololi kie ini akan melewati “Jere Kubu Lamo” yakni makam keramat salah seorang sufi Ternate yang dahulu pada zamannya dikenal dengan sebutan “Joguru Lamo” (Joguru=Tuan Guru, Lamo=Besar) yang namanya asli tokoh ini sangat dirahasiakan oleh nara sumber yang penulis wawancarai. Pembacaan doa di pos pertama ini dilakukan sambil berlalu tanpa berhenti.
Menurut nara sumber penulis, seorang Joguru Lamo yang dimakamkan di sini dahulunya adalah guru tasawuf terkenal. Lokasi makam ini tepat berada beberapa puluh meter di belakang deretan kuburan di lokasi Taman Makam Pahlawan Banau di kelurahan Sangadji Ternate utara.
Doa-doa yang dibacakan pada tiap-tiap pos tempat keramat adalah doa “Akrim naa” yang disambung dengan lafadz Allahummaj al naa yaa maulaana alaika dzaa kiriin, kemudian dilanjutkan dengan doa “Tolak Bala”.
Sekitar 20 menit melewati jere Kubu Lamo ke arah utara, rombongan armada kololi kie tiba pada pos keramat berikut, yaitu “Libuku Tabam ma-Dehe”. Tempat ini oleh orang Ternate secara ritual adalah merupakan salah satu sudut pulau karena posisinya seperti sebuah tanjung.
Sepanjang perjalanan mengelilingi pulau, selain pada pos-pos keramat dibacakan doa-doa khusus yang sudah disebutkan di atas (=Asmih, Taiyyibi, Abdul Qadir Djaelani, Tolak Bala), juga dibacakan doa “Alhamdu Tarekat”, doa “Sawwabah”, doa ”Tahlil”, serta “Doa Salamat” dan “Doa Kie”.
Kurang lebih 10 menit dari tempat itu, peserta ritual adat kololi kie melewati perairan yang di pantainya terdapat bentangan bebatuan bekas lelehan lava gunung berapi Gamalama yang sudah membatu, yang disebut “Batu Angus” atau “Mari Hoku” oleh orang Ternate. Sekitar 500 meter dari tempat ini adalah rombongan melewati pos keramat yang ke empat, yakni “Jere Kulaba”.
Jere Kulaba adalah makam keramat salah satu dari beberapa orang sufi Ternate yang terkenal di masanya dengan peran utamanya adalah memperkokoh tegaknya syariat Islam di Ternate pada pada sekitar tahun 1705. Menurut keterangan dari salah satu nara sumber penulis Abdul Kadir Mailudu atau sering disapa Tete Baa (sudah almarhum), yang keterangannya diperoleh penulis beberapa tahun lalu, terungkap bahwa nama pemilik makam dengan batu nisan tertinggi di Jere Kulaba ini adalah seorang ahli tasawuf Ternate yang hidup sekitar akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18 Masehi, yang bernama; “Syekh Abdul ibnur-Rachman" yang bernama asli Ternate adalah; "Dumade”.
Tidak semua orang di sini tahu nama makam keramat yang sangat sering diziarahi penduduk Ternate ini. Semua penduduk Ternate hanya tahu makam keramat ini dengan sebutan Jere Kulaba saja. Sengaja penulis tuliskan dan publikasikan nama yang sangat dirahasiakan oleh orang tua-tua ini dengan tujuan agar generasi muda Ternate juga mengetahuinya.
Makam ini sangat terkenal di seantero pulau Ternate dan pulau sekitarnya. Makam keramat ini memiliki batu nisan tertinggi di pulau Ternate, yakni kurang lebih hampir 1,7 meter atau setinggi tubuh orang dewasa. Orang banyak sering menyebutnya Jere Kulaba karena lokasinya berada tepat di belakang desa Kulaba di pulau Ternate.
Kira-kira sekitar 20 hingga 30 menit meninggalkan tempat itu rombongan perahu ini melewati salah satu tempat keramat di desa sulamadaha yakni “Sao Madaha”. Tempat yang dianggap keramat ini berada di dalam sebuah teluk kecil di ujung desa ini.
Nun jauh di atas di lereng pegunungan gunung Gamalama terdapat sebuah bukit yang disebut dengan “Buku Deru-Deru”. Bukit ini oleh orang Ternate secara ritual juga dianggap sebagai salah satu sudut pulau dari empat sudut (Libuku Raha) yang ada di pulau ini. Sambil melewat tempat ini juga dilakukan pembacaan doa khusus oleh salah satu Imam yang turut menumpangi perahu Sultan berada.
Sekitar 20 menit dari tempat ini rombongan tiba di perairan desa Bandinga. Tempat ini juga dianggap oleh masyarakat Ternate merupakan sudut pulau yang ketiga yang dikenal “Libuku Bandinga Mari Hisa”. (mari=batu, hisa=pagar). Libuku Bandinga Mari Hisa ini merupakan salah sudut pulau yang dianggap keramat dimana pulau Ternate dibagi dua dengan patokan posisi awal dari depan Keraton kesultanan Ternate. Artinya rombongan upacara ritual kololi kie ini sudah melewati separuh lingkaran keliling pulau Ternate (50 %).
Pada masing-masing tempat-tempat yang disebutkan ini juga dilakukan pembacaan doa-doa khusus, tapi tidak berhenti, yakni dibacakan doa sambil berlalu.
Selain berhenti di beberapa tempat sambil memanjatkan doa-doa khusus, Sultan dan rombongan armada kololi kie ini juga akan turun ke darat di desa Ruwa setelah sekitar 20 menit melewati Libuku Bandinga Mari Hisa.
Segera setelah seluruh armada merapat ke tepian pantai, Sang Sultan dan Permaisuri disambut dengan melakukan upacara “Joko Kaha” (joko=injak, kaha=tanah), yaitu upacara penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sekitar desa Rua dan Monge yang sudah sejak dari tadi berjejer di tepian pantai “Ake Rica” yang ada diantara dua desa itu. Dahulu nama ake rica ini dikenal dengan sebutan “Ake Sibu”.
Sebagian masyarakat menuju ke sebuah kolam sumber air kecil yang berada di seberang jalan raya yang membentang sepanjang pantai Ake Rica ini. Kolam kecil dengan sumber air yang tak pernah habis ini diyakini dan dipercaya sebagai tempat mandinya para bidadari di jaman dahulu ketika masa kedatangan Sayyidinaa Syekh Djaffar Shaddiq, sang pembawa agama Islam ke pulau ini. Di tempat ini sebagian masyarakat mengambil air dari sumber air yang keluar dari celah bukit yang tumpah langsung ke kolam, ini, atau sebagian dari mereka sekedar mencuci dan membasuh muka.
Setelah perahu-perahu merapat di tepi pantai, sang Sultan dan permaisuri akan turun untuk mencuci kaki dan menginjakkan kakinya pada segenggam rumput Fartago yang sudah disiapkan di atas piring kecil.
Rombongan lalu disambut secara adat oleh para tetua desa dan disuguhi berbagai hidangan makanan adat yg lezat, seperti nasi kuning, ayam bakar, serta ikan bakar. Upacara penyambutan rombongan ini diiringi oleh alunan berbagai alat musik pukul dan gesek tradisional. Suguhan ini menggambarkan pengakuan masyarakat Ternate terhadap kebesaran sang Sultan dan kerajaannya.
Setelah menikmati hidangan yang ada, Sultan dan Permaisuri beserta seluruh rombongan upacara ritual ini melanjutkan pelayaran mengelilingi Gunung Gamalama dan pulau Ternate. Selama perjalanan, peserta ritual adat kololi kie, rombongan armada ini selalu memperoleh sambutan meriah dari masyarakat yang menyaksikan iring-ringan perahu dari tepi pantai sambil melambai-lambaikan tangannya kepada rombongan sang Sultan yang melewati kampungnya.
Tak hanya itu, sepanjang perjalanan, jika cuaca baik, banyak pemandangan indah laut Ternate yang tenang bias dinikmati, indahnya deretan pulau-pulau kecil di sekitar Ternate, serta keanggunan sosok gunung Gamalama tak akan mudah dilupakan oleh mereka yang mengikuti pelayaran sakral ini. Banyak peserta perjalanan dalam acara ritual ini mengabadikan setiap moment dengan camera dan handycam yang dimilikinya masing-masing.
Sekali lagi dijelaskan, bahwa selama melalukan perjalanan mengelilingi pulau ini, iring-iringan perahu tiap "Soa" (kampung) dilengkapi dengan alat musik Tifa, Gong dan Fiol (alat musik gesek), suasana adat dan tradisional sangat terasa dalam perjalanan ini.
Selepas dari tempat Ake Rica ini, rombongan armada melanjutkan perjalanan yang kurang lebih sudah mencapai 50 % dari lingkarang keliling pulau Ternate. Kira-kira sekitar 25 menit, rombongan melewati pemukiman Foramadiyahi yang terletak jauh di atas lereng gunung Gamalama. Di tempat ini terdapat makam Sultan Babullah ibn Khairun Djamilu sang legendaris pengusir penjajah dari bumi Ternate. Dari kejauhan di laut, rombongan ini melakukan pembacaan doa-doa khusus untuk makam ini.
Kira-kira 15 menit setelah melewati danau Ngade ini, arah rombongan sekarang sudah mengarah ke timur laut yakni kira-kira sudah 75 % menyelesaikan perjalanan ini. Saat ketika melewati daerah pesisir pantai Talangame (sekarang kelurahan Bastiong), juga dilakukan pembacan doa-doa khusus.
Sepuluh menit dari pesisir pantai Talangame, rombongan mulai memasuki pesisir kota Ternate, dan arah perjalanan rombongan sudah menghadap ke utara. Perjalanan keliling pulau ini sudah mencapai 90 %. Setelah melewati mesjid raya Ternate Al-Munawar, dibacakan pula doa khusus ketika sedang melewati kawasan Malayu Cim (Benteng Oranye dan sekitarnya). Rombongan armada melewati perairan di pusat kota Ternate.
Perjalanan ritual adat kololi kie ini tinggal kira-kira 15 menit lagi. Sekitar satu kilometer menjelang tempat pemberhentian di pelabuhan Dokoku Ali (tempat memulainya perjalanan ini) dari laut dibacakan doa khusus untuk beberapa makam para Sultan Ternate yang berada di daratan tepatnya di dalam kompleks mesjid kesultanan, makam-makam disebut oleh orang Ternate dengan “Jere Sigi Lamo” (Makam raja di Mesjid Sultan).
Perjalanan ritual adat selama kurang lebih empat jam ini kemudian berakhir dan kembali ke Jembatan Dodoku Ali, tempat dimana perjalanan ritual ini dimulai di pagi hari.
CATATAN AKHIR PENULIS
Dalam kurun waktu sekitar 6 tahun terakhir ini, ritual adat kololi kie ini dilaksanakan dalam rangkaian acara tahunan, yaitu pada Festival Legu Gam Moloku Kie Raha, yang dilaksanakan setiap bulan April menjelang ulang tahun Sultan Ternate (Sultan Haji Mudaffar Sjah II). Dalam festival ini, selain dapat mengikuti pelayaran ritual adat kololi kie, wisatawan juga dapat menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian, karnaval budaya, pameran kerajinan, serta berbagai perlombaan tradisional khas Maluku Utara.
Untuk menuju tempat pelaksanaan tradisi ritual adat kololi kie ini di kota Ternate, para wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara dapat menempuh perjalanan udara baik dari Ambon, Manado, Makassar, Sorong maupun langsung dari Jakarta menuju ke bandara Sultan Babullah di pulau Ternate. Selain melalui jalur udara, para wisatawan juga dapat memanfaatkan fasilitas pelayaran kapal-kapal Pelni dari berbagai pelabuhan di Nusantara yang merapat di Pelabuhan Laut Achmad Yani Ternate.
Selain itu, terdapat tiga pelabuhan lain di kota Ternate yang melayani pendaratan kapal-kapal sedang, yaitu Pelabuhan Fery, Pelabuhan Dufa-Dufa untuk kawasan utara serta Pelabuhan Bastiong untuk kawasan selatan. Dari bandara Sultan Babullah maupun dari pelabuhan laut Achmad Yani Ternate, atau dari ketiga pelabuhan sedang tersebut, para wisatawan dapat memanfaatkan angkutan kota atau taksi untuk sampai ke jembatan Dodoku Ali yang berada tepat di halaman alun-alun Keraton Kesultanan Ternate, yang menjadi lokasi permulaan atau tempat start kegiatan tradisi ritual adat kololi kie ini.
Dari gambaran pelaksanaan tradisi kegiatan kololi kie yang penulis gambarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini adalah sebuah kebiasaan masyarakat yang bersifat ritualistis karena pelaksanaannya tidak sekedar mengitari pulau ini, tapi harus dipandu dan dipimpin oleh orang yang mengetahui seluk beluk ritual ini. Kegiatan ritual kololi kie ini bukan sekedar aktivitas seremonial belaka, melainkan banyak makna yang tersirat dan tersurat yang mungkin bisa kita petik. Mungkin pula tradisi ritual seperti ini ada juga di tempat-tempat lain di nusantara ini, tapi dengan nuansa dan sebutan yang mungkin berbeda pula.
Apapun yang dikatakan orang, apapun yang anda komentari setelah membaca tulisan ini, namun pada kenyataannya tradisi ritual adat ini masih tetap bertahan di pulau ini hingga hari ini. Persoalannya, sejauh manakah tradisi ini bisa tetap bertahan dikala derasnya hempasan arus modernisasi yang melanda seluruh pelosok bumi ? Wallahu wa’lam…..!
Semoga tradisi khas Ternate ini tetap lestari. Harapan penulis, semoga event tahunan ini turut mewarnai promosi dan upaya mengangkat nilai jual pariwisata budaya Ternate ke daerah-daerah lain di Indonesia maupun ke manca Negara.