~ Narasi oleh : Busranto Latif Doa ~
Dipastikan bahwa istilah LETNAN ARAB atau setingkat lebih tinggi yakni KAPTEN ARAB dan juga KAPTEN CINA pernah ada di dalam sejarah Kesultanan Ternate (Maluku Utara). Istilah atau sebutan “KAPTEN” ini berasal dari akar kata bahasa Portugis yakni kata “Capitão”, dan atau dari bahasa Spanyol “Capitán”. Saat Belanda datang ke Ternate, istilah ini disesuaikan dengan bahasa mereka, yakni “Kapitein”. Lalu kemudian orang2 Maluku Utara pada jaman itu mengadopsi istilah jabatan orang Eropa ini dengan istilah “KAPITA” dan dimasukan ke dalam jabatan2 pada struktur kesultanan Ternate.
Kapita Arab adalah salah satunya, selain Kapita Cina. Kedua istilah ini mungkin hanya lahir dalam sejarah Ternate (Maluku Utara). Sebutan Kapten Arab yang kita bahas ini dalam bahasa Ternate disebut “Kapita Arab”, demikian pula dengan Kapten Cina disebut dengan “Kapita Cina”. Selain dua Kapita ini juga ada banyak jabatan Kapita untuk komunitas lokal lainnya. Banyak sekali jabatan “Kapita” ini di wilayah kesultanan Ternate yang disandang berdasarkan jumlah klan yg ada dalam struktur masyarakat tradisional di kesultanan Ternate. Belum diketahui dengan pasti sejak kapan istilah “Kapita Arab” dan “Kapita Cina” ini mulai digunakan dalam struktur sosial di kesultanan Ternate, karena belum banyak data sumber yang menjelaskan tentang hal tersebut. Ini membutuhkan penelitian tersendiri.
@...Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui bahwa, dalam struktur masyarakat tradisional di kesultanan Ternate tercatat terdiri dari 41 kelompok kekerabatan klan/marga yang disebut "Soa". (Fraassen menyebut jumlah Soa ada 43). Mereka terdiri dari seluruh elemen masyarakat tradisional yang ada, termasuk pendatang Melayu lainnya yakni; Suku Jawa, Bugis-Makassar. Selain itu di dalam keragaman masyarakat Ternate juga terdapat beberapa klan/marga yang non-melayu, yakni keturunan orang2 Cina dan Arab yang jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol dan Belanda) mereka ini sudah lebih dahulu eksisi atau ada di Ternate, dan sudah menjadi bagian dari masyarakat tradisional di kerajaan Ternate.
Berdasarkan sumber2 sejarah, dapat kita rekonstruksikan bahwa pergaulan sosial kedua pendatang non-Melayu ini (Cina dan Arab) agak berbeda. Orang2-orang keturunan Cina Ternate misalnya, jarang terjadi asimilasi sosiologis dengan penduduk pribumi selain dari urusan atau kegiatan perdagangan. Mereka punya kawasan pemukiman tersendiri di pusat kota Ternate sebagai kota perdagangan. Lain halnya dengan orang2 keturunan Arab Ternate, yang nampaknya asimilasi social dan budaya dengan penduduk pribumi lebih tampak.
Hal ini dapat dimungkinkan karena antara penduduk pribumi Ternate dengan para komunitas Hadrahim (keturunan Arab) terdapat kesamaan aqidah (Islam), penduduk pribumi Ternate yang nota bene juga telah lama memeluk agama Islam adalah faktor yang menjadi perekat antara klan/marga keturunan Arab dengan penduduk pribumi Ternate. Walaupun demikian kedua komunitas Ternate non-Melayu ini masih tetap mempertahankan kemurnian genealogisnya dengan meminimalisir perkawinan campuran komunitas mereka dengan penduduk lokal. Walaupun hal demikian perah terjadi di beberapa generasi, namun sangat jarang. Walaupun demikian, sangat jarang dan nyaris tidak tercatat dalam sejarah, terjadi pertikaian atau konflik horizontal antara penduduk pribumi Ternate dengan masing2 dari kedua klan/marga penduduk Ternate non-Melayu ini. Ini yang mesti kita pertahankan sampai kapanpun di negeri pulau yang bernama Ternate yang kita cintai ini.
Kembali kepada soal “KAPITA ARAB” dan “KAPITA CINA”. ~ @ Bahwa dari ke-41 (atau 43) jumlah Soa yang ada dalam struktur masyarakat tradisional Ternate yang mana klan Melayu seperti Jawa, misalnya, mereka mendapat kedudukan yang boleh dikatakan setara dengan klan2 yang asli Ternate, yakni meteja juga menjadi salah satu Soa. Sedangkan keturunan Cina dan Arab tidak menjadi salah satu Soa di Ternate. Eksistensi mereka ini dilihat dari sisi lain. Ada peran-peran tertentu yang tidak dapat dilakoni oleh penduduk lokal Ternate atau Soa2 yg ada namun hanya dapat dilakukan oleh kedua komunitas Ternate ini. Oleh karena itu eksistensi mereka sangat dibutuhkan oleh pihak kesultanan. Dapat dikatakan bahawa peran central dari komunitas Cina Ternate waktu itu adalah dalam bidang perniagaan dan permodalan (kapitalis lokal), sedangkan peran central dari komunitas Arab Ternate selain juga dalam bidang perniagaan, juga dalam bidang pembinaan kerohanian Islam (dakwah).
Sebelum tahun 1859, pemimpin komunitas Cina dan Arab ini mendapat kehormatan di kesultanan sebagai kelompot elite dan memiliki perwakilan (pemimpin) dalam struktur kesultanan dengan pangkat KAPITA CINA dan KAPITA ARAB. Dengan struktur dan fungsi seperti ini, dapat diperkirakan bahwa pada masing masing dari kedua komunitas elite ini, masing2 terdapat pemimpin spiritualnya secara internal komunitas, dan juga pemimpin perwakilan dalam pemerintahan kesultanan. Yang dimaksud kedua ini adalah Kapita Cina Dan Kapita Arab. Fungsi mereka adalah sebagai penyambung antara komunitas mereka dengan istana (kadato).
Namun setelah C. Bosscher menjadi Residen Ternate ke-11 pada tahun 1856,dan dan tiga tahun kemudian yakni tahun 1859, pemerintah Belanda di Ternate membuat aturan (semacam undang-undang) yakni Peraturan No.20, yang dalam pasal 2, berisi arahan untuk kepala untuk komunitas keturunan Arab, Bugis-Makassar dan komunitas Melayu lainnya di Ternate, mereka dianggap sama dengan warga Muslim Ternate dalam status hokum Belanda. Para kepala dari kelompok ini memegang pangkat tituler “Kapitein” di tentara sipil, yang tugasnya selain ke pihak istana (kadato) juga harus melayani di tentara sipil dan tugas jaga. Dengan tugas ini, maka pihak Belanda menganggap diri mereka (Kapita Arab dan kapita Cina) lebih unggul dari kapita2 Ternate lainnya yang ada di kampung2. Yang hanya subjek langsung dari Sultan. Dalam hal berpakaian, Kapita Cina dan kapita Arab berbeda dgn kapita dari klan lokal, mereka tetap menggunakan busana khas Cina dan Arab, tidak seperti kapita2 dari komunitas lokal yang menggunakan Lastar berwarna hitam yang ditaruh melingkar di kepala.
Satu hal lai yang harus diketahui bahwa, dalam struktur pemerintahan kesultanan Ternate, jabatan Kapita dikategorikan dalam 2 kategori, yakni kapita level atas dan kapita level bawah. Kapita level atas hanya terdiri dari Kapita Laut (Panglima Armada Laut Kesultanan), dan Kapita Kie (Panglima Keamanan Darat di Wilayah Ibukota Kesultananan), sedangkan yang dimaksud dengan kapita level bawah adalah kapita2 selain dua kapita level atas tersebut termasuk kapita2 yang kita bahas ini.
Tercatat dalam sejarah, untuk Kapita Arab Ternate, menurut Iis Nurcan, seorang Dosen IAIN Ambon yang kini sedang menjalani studi Islam di Universitas Leiden Belanda dan melakukan riset di University of Groningen, melakukan kajian dn pengumpulan data tentang komunitas Arab di Maluku termasuk para Habib dan keluarganya, menyebutkan bahwa Letnan Arab (Kapita Arab) pertama di Ternate adalah Habib Muchsin bin Muhammad Albaar (masa jabatan 1890-1904), Letnan Arab yang ke-2 adalah Habib Abdullah bin Salim Alhaddar dengan masa jabatan 1904-1922, dan Letnan Arab yang ke-3 (terakhir) adalah Habib Abubakar bin Salim Alhaddar yang menjabat dari tahun 1922-masa Jepang. Habib Abdullah dan Habib Abubakar kemungkinan dua bersaudara.
Berdasarkan data2 sejarah ini, maka bila kesultanan Ternate dalam rangka melestarikan budaya dan ingin menjalin kembali silaturrahmi yang terputus antara pihak kesultanan dengan komunitas keturunan Arab Ternate dalam bingkai melestarikan budaya daerah sebagai bagian dari budaya Nasional, maka bagi saya pribadi, jabatan Kapita Arab harus ditunjuk atau diambil dari keturunan dari Habib Abdullah dan atau Habib Abubakab bin Salim Alhaddar ini. Persoalannya, apakah pihak keluarga keturunan masih mau melibatkan diri dalam rangka melestarikan budaya dan dalam rangka menjalin kembali tali silaturrahmi yang sempat terputus ini, dalam kondisi kesultanan Ternate yang nampak sudah kehilangan arah dalam satu dasa warsa terakhir ini ? Ini yang menjadi kendala menurut saya.
Sedangkan untuk jabatan KAPITA CINA, setahu saya hingga saat ini dijabat oleh : Chritopher Harliem, yang biasa disapa Ko Hui (keluarga pemilik bioskop benteng Ternate). Bila ingin mengatahui banyak tentang sejarah komunitas Cina di Ternate, silahkan baca Skripsi dari Sdri. Irza Arnyta Djaafar (Almarhum Ibu Ita, kakak kelas saya pada saat masih mahasiswa di program studi Sejarah waktu kuliah dulu).
Akhir kata, hikmah yang dapat kita petik dari paparan ini, adalah, bahwa kita semua orang Ternate adalah bersaudara, siapapun dia, keturunan Cina,urunan Arab atau keturunan penduduk asli local. Leluhur kita semua sudah menjalin ikatan persaudaraan sejak dahulu, kita generasi penerus ini harus tetap memelihara hubungan emosional itu. “MARIMOI NGONE FUTURU”. Itulah salah satu dari apa yang disebut oleh orang2 pintar dengan istilah “Local Wisdom” (Kearifan Lokal). Tks… (Cibubur, 12 April 2014)
This entry was posted
on Tuesday, 30 September 2014
at Tuesday, September 30, 2014
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.