Kesenian Istana adalah kelompok kesenian yang dicipta ataupun dibina, dikembangkan oleh dan untuk kalangan keraton kesultanan. Umumnya merupakan kelengkapan adat yang bersifat ritual maupun seremonial. Sedangkan Kesenian Rakyat yaitu kelompok kesenian yang dicipta, dibina dan dikembangkan oleh dan untuk kalangan masyarakat umum. Kesenian istana telah ada sejak jaman pra-Islam, yakni dalam bentuk seni tari dan seni suara. Di Ternate, perpaduan dari kedua bentuk seni ini terwujud dalam sebuah tarian klasik yang bersifat ritual, yaitu “Legu-Legu”.
Pentas Legu-Legu di Halaman Pendopo, Photo by Busranto
Tarian Legu-Legu hanya terdapat dan hanya dipentaskan di lingkungan Keraton Ternate saja. Tarian ini bukan merupakan tarian tunggal yang hanya dibawakan oleh 1 orang penari melainkan dilakukan oleh lebih dari 5 0rang, bahkan bisa sampai 25 orang secara serentak. Para penari yang terdiri dari gadis-gadis muda harus yang masih perwan/belum menikah. Ketentuan ini mengandung makna bahwa Legu-Legu mempunyai sifat sakral. Para penari merupakan medium yang masih suci. Kadang ada satu atau lebih penari yang melakukannya gerakan, tidak dalam keadaan sadar/kemasukan roh nenek moyang. Tarian legu-Legu ini hanya dipentaskan pada saat-saat tertentu dengan pertimbangan utamanya harus bersifat ritual dan mempunyai keterkaitan dengan adat keramat keraton.
Yang unik dari tarian klasik milik keraton kesultanan Ternate ini adalah bahwa para penari yang membawakannya hanya boleh berasal dari keturunan Soa/Marga “Soangare” atau “Soa Ngongare” saja. Soangare merupakan salah satu klan dari kelompok kekerabatan khas Ternate yang walaupun secara genalogis bukan keturunan sultan namun klan ini sangat dekat di kalangan istana karena marga Soangare sejak dahulu merupakan salah satu marga yang menjadi “Abdi Dalem” yang sangat setia di keraton kesultanan Ternate.
Tarian Legu-Legu ini biasanya disebut juga dengan sebutan “Legu Kadato”, untuk membedakan dengan Istilah Legu Gam (Perayaan tahunan Pesta Adat/Pesta Negeri). Tarian ini dibawakan sambil diiringi dengan orkes tabuh khas daerah Maluku yang terdiri atas; Dua buah Tifa kecil, sebuah Gong tembaga dan didampingi dua orang penyanyi wanita setengah baya. Biasanya lirik yang dinyanyikan berasal dari syair-syair kuno berbahasa Ternate yang dikutip dari sastra lisan Ternate, yaitu Dorobololo, Dalil Tifa dan Dalil Moro. (lihat artikel terkait sebelumnya)
Para gadis penari Legu-Legu memainkan gerakan tarian ini dengan pola melingkar (Round Dances) dengan komposisi gerakan tari yang sangat rumit. Temponya lambat dan biasanya memakan waktu lebih dari 1 jam untuk menyelesaikannya. Legu-Legu yang fungsinya sebagai tarian ritual yang sakral, maupun dalam komposisi tarian dan penarinya, mengingatkan kita pada Tari Bedoyo Ketawang dari keraton Kasunan Surakarta dan Tari Bedoyo Semang di keraton kesultanan Yogyakarta yang sudah terkenal di manca negara.
Gerakan dalam tarian Legu-Legu lebih mengutamakan gerak tangan yang memainkan selendang yang biasanya merah-kuning (merah=kanan, kuning=kiri) yang terikat di pinggang penari dan juga mengutamakan gerakan tumit. Tarian ini juga menggunakan sebuah kipas lipat yang kadang digunakan dalam gerak tari. Bila sedang tidak digunakan atau melakukan gerakan lain, maka kipas lipat tadi diselipkan di dalam ikat pinggang si penari. Tarian ini sama sekali tidak menggunakan gerakan pinggul atau gerakan kepala.
Gadis penari tarian ini menggunakan semacam ikat kepala berwarna kuning keemasan berbentuk mahkota/tiara di bagian depan dan semacam sayap kecil di bagian kiri-kanan di atas telinga serta berbentuk ekor di bagian belakang kepala. Ikat kepala ini berhiaskan manik-manik dan permata yang digantungkan. Hampir seluruh tubuh mereka ditutupi dengan busana yang berwarna kuning, ditambah semacam selendang yang diikatkan di bagian pinggang, dilengkapi ikat pinggang berwarna dengan hiasan bermotif bunga-bunga kecil.
Baju yang mereka gunakan berbentuk baju kurung yang berlengan panjang dan dipadukan dengan rok panjang sampai ke tumit kaki dengan sebuah kipas lipat yang disisipkan dalam ikat pinggang. Pada bagian pergelangan tangan diikat dengan semacam bingkai berwarna merah. Sedangkan pada bagian leher baju kurung berhiaskan sulaman manik-manik.
Tarian Legu-Legu merupakan satu-satunya tarian ritual dalam istana kesultanan Ternate. Menurut sumber dari pihak keraton kesultanan Ternate, sebenarnya ada 12 macam atau variasi dari tarian ini dengan 12 lagu untuk masing-masing jenis. Namun saat ini yang dipentaskan hanya beberapa jenis Legu-Legu saja misalnya; Akilindo, Bombaka dan Dansapele.
Pada masa kini, tarian Legu-Legu yang sakral ini hanya dipertunjukan dalam rangka upacara kebesaran adat keraton Ternate, yaitu pada saat Upacara Penobatan Sultan (yang disebut Sinonako Jou Kolano), Pengesahan/Penetapan istri Sultan sebagai “Permaisuri” (yang disebut Sinonako Jou ma-Boki), Ulang Tahun Sultan, Penyambutan tamu agung di keraton. Akhir-akhir ini sering dipertunjukan dalam kegiatan rutin 2 tahunan yaitu pada setiap perhelatan Festival Keraton se-Nusantara yang pelaksanaannya berpindah-pindah tempat di setiap keraton dari anggota Festival tersebut. (@)
Legu-Legu Dancer (1870) Photo by Buwalda