“Tuteba”, Sebuah Fenomena Baru Dalam Prostitusi di Ternate. (Opini Warga Ternate)  

Posted

Oleh : Irza Arnyta Djafaar. (Alm)

Seorang gadis cantik dengan body aduhai berlenggak lenggok dengan dandanan yang cukup menor. Dengan gincu merah darah dan bedak tebal ditambah dengan celana jeans ketat dan blus kaos yang super ketat sehinnga memperlihatkan lekak lekuk tubuhnya yang cukup sexy itu, dia berusaha untuk menarik perhatian setiap lelaki hidung belang yang ada disekitarnya.


Swering (Tepian Pantai) di kota Ternate

Tidak lama kemudian aksinya itu mengundang seorang lelaki hidung belang menghampirinya, tampak mereka berdua terlibat percakapan yang serius diiringi dengan tawa cekikikan dari mulut si perempuan, tidak lama kemudian si perempuan sexy itu sudah menggelayut manja di tangan sang lelaki, mereka berduapun hilang ditengah kegelapan malam. Tampaknya transaksi telah berlangsung mulus. Perempuan itu tidak sendiri, karena disekitar dia masih beberapa perempuan lain yang seprofesi dengan dirinya.
Ilustrasi di atas adalah sebuah kisah nyata yang terjadi dihadapan kita akhir-akhir ini, karena kejadiannya di kota yang sangat kita cintai “Ternate”.

Tuteba yang diambil dari salah satu bahasa daerah Maluku Utara (bahasa pulau Makian Luar) yang artinya mengambil sedikit-demi sedikit di berbagai tempat (mencomot). Sebenarnya istilah ini bernada positif karena mengumpulkan sesuatu sedikit demi sedikit, akhirnya lama-lama akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Tapi pada akhirnya istilah ini berubah menjadi negatif setelah ditempelkan dan berkonotasi ke profesi prostitusi.

Selain istilah Tuteba, dikalangan anak-anak muda kota Ternate dikenal juga dengan istilah “Lopis” atau “Portugal”. Lopis nama dari sejenis kue yang terbuat dari ketan/singkong yang dibumbui kelapa dan gula merah dijadikan singkatan menjadi “Lonte Pinggir Swering”, sedangkan “Portugal” adalah singkatan dari “Persatuan Orang Tua Gatal”. Sebuah julukan untuk pelaku dan lelaki hidung hidung belang setengah baya. Bahasa-bahasa prokem sepeti ini banyak sekali berkembang dikalangan kaum muda Ternate sama halnya dengan bahasa slank /prokem yang banyak dipakai oleh anak-anak gaul Jakarta.

Psikolog perempuan Kartini Kartono dalam bukunya “Psikologi Abnormal dan Pathologi Sex” mengemukakan, bahwa perempuan dan laki-laki dapat disebut normal dan dewasa, bila mampu mengadakan relasi sosial dalam bentuk normal dan bertanggung jawab, bahwa kedua belah pihak menyadari konsekwensinya dan berani bertanggung jawab terhadapnya, contohnya mau menikah dan memelihara anak yang menjadi produk dari relasi sosial yang telah dilakukan.

Relasi sex yang abnormal dan perverse (buruk) adalah relasi sex yang tidak bertanggung jawab, didorong oleh kompulsi yang abnormal. Hal demikian bertentangan dengan norma sosial, hukum, maupun agama. Abnormalitas dalam pemuasaan sex menurutnya antara lain adalah Prostitution atau pelacuran, yang pada umumnya dilakukan oleh kaum perempuan dalam melayani pria hidung belang karena dorongan ekonomi, kekecewaan/frustrasi, atau balas dendam.

Prostitusi dan Masalah Sosial

Membicarakan masalah prostitusi sama saja dengan mengunyah masalah yang dianggap paling purba dalam kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Masalah prostitusi atau pelacuran merupakan masalah klasik namun tetap terasa baru dan hangat untuk dibicarakan. Tidak ada seorangpun yang tau pasti kapan dan bagaimana prostitusi itu pertama kali muncul, sebab sangat sulit ditentukan. Namun bisa dikatakan bahwa sejak ada norma perkawinan, diduga sejak itu pulalah muncul prostitusi.

Prostitusi merupakan masalah sosial sebab keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sering membuat keresahan dan menggangu ketentraman kehidupan sosial masyarakat. Selain dituding sebagai penyebab degradasi moral masyarakat, prostitusi juga menjadi penyebab utama penyebaran penyakit kelamin. Ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas,prostitusi tidak bisa dipandang sebagai masalah moral cultural belaka, sebab bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial maupun kondisi ekonomi dan politik yang melatarbelaknginya.

Di tempat-tempat dimana dijumpai praktek-praktek prostitusi, sering terjadi kontraversi pandangan dan kepentingan antara masyarakat di satu pihak dan pemerintah dan penguasa di lain pihak. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan yang diambil oleh pemerintah, terhadap masalah prostitusi sering kali kurang tegas karena dihadapkan pada berbagai pilihan dan kepentingan.

Bagaimanapun pandangan masyarakat terhadap prostitusi, kenyataan tetap membuktikan bahwa pelacuran itu fungsional di dalam sistim sosial masyarakat. Hal ini terbukti dengan keberadaannya sejak berabad-abad yang lalu tanpa ada satu kekuatan pun yang mampu menghapuskan dari muka bumi. Hukum selama masih ada permintaan dan penawaran terhadap kebutuhan seks, prostitusi akan tetap eksis sebab ia merupakan salah satu atribut kehidupan umat manusia sejak dahulu kala.

Sementara prostitusi yang terang-terangan dan terorganisir atau prostitusi komersial muncul dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota dengan spesialisasi yang semakin lama semakin bervariasi dan kompleks. Dalam konteks ini, prostitusi sering dipandang sebagi profesi sekelompok orang marginal yang karena desakan sosial-ekonomi atau faktor lainnya, tercerabut dari akarnya di daeah asal namun tidak mampu mendapatkan pekerjaan di perkotaan karena banyaknya saingan dan terbatasnya pilihan pekerjaan untuk mereka.

Dengan demikian, tumbuh dan berkembangnya prostitusi seperti ini lebih cendrung sebagai ekses perkembangan sosial ekonomi yang terjadi dalam suatu masyarakat . Prostitusi yang bersifat komersial ini diibaratkan sebagai sebuah drama, suatu konflik kepentingan dan adu kekuatan, sebab seringkali bersifat paksaan, tak beperikemanusiaan, dan sangat eksploratif, serta didalamnya terdapat beberapa komponen yang memiliki peran sendiri-sendiri. Pelacur merupakan salah satu komponen unsur yang penting dalam prostitusi komersial.

Berkembangnya prostitusi disebabkan oleh berbagai aspek dan sangat kompleks. Selama ini aspek ekonomi (kemiskinan) dipandang sebagai penyebab utama seorang perempuan terjun ke dunia hitam, sehingga prostitusi terus bekembang dan tidak mudah dihapuskan. Tetapi apakah hal seperti ini sepenuhnya benar? Pandangan semacam itu kiranya perlu dikaji ulang, sebab tidak selamanya tekanan sosial-ekonomi/kemiskinan membuahkan pelacuran.

Kalau penyebabnya adalah faktor ekonomi mengutip pendapat Koentjoro, mengapa ada orang miskin yang menjadi pelacur dan ada orang miskin yang tidak menjadi pelacur? Padahal mereka berasal dari kondisi sosial dan ekonomi yang sama.

Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuan langsung dari Kasubdin Pelayanan Kesejatraan Sosial Dinas Sulawesi Utara, menurutnya kini banyak oknum PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang diduga melakukan kerja sampingan sebagai PSK (Pekerja Sex Komersial). Menurutnya oknum PNS ke kantor dengan menggunakan pakaian dinas pada jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore dengan alasan mendapat tugas dari kantor, mereka bisa leluasa menjalani profesi sampingannya dan bahakan mendapat nilai yang lebih tinggi, gengsi mereka naik karena profesinya juga sebagai PNS.

Hal ini sama dengan di kota-kota besar, dimana mahasiswa yang merangkap profesi sebagai pelacur. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor ekonomi bukan satu-satunya alasan, banyak faktor lainnya sehingga perempuan banyak yang terjerumus dalam lingkaran prostitusi. (Malut Pos, 8 Juni 2005).

Prostitusi dan Dampaknya tehadap Penyakit Kelamin

Prostitusi merupakan masalah sosial sebab pada hakekatnya aktivitas prostitusi menggangu ketentraman dan keselamatan, baik jasmani, rohani, maupun sosial dari kehidupan masyarakat. Selain dipandang sebagai bentuk penyimpangan dari norma kehidupan masyarakat dan penyebab degradasi moral manusia, prostitusi juga menjadi penyebab utama perluasan penyebaran penyakit kelamin.

Di Ternate, perluasan penyebaran penyakit kelamin yang disebabkan oleh maraknya praktek-paktek prostitusi sampai sejauh ini belum dapat didata, hal ini disebabkan karena praktek postitusi yang ada dikawasan Maluku Utara belum dilegalkan, masih liar, belum ada lokalisasi pelacuran sehingga dengan demikian agak susah untuk mencari sampai sejauh mana penyebaran penyakit kelamin yang ada di Maluku Utara. Kalaupun ada dipastikan pengidap penyakit kelamin akibat berhubungan sex dengan perempuan pelacur tidak akan mau mengakuinya.

Penyakit kelamin yang diidap dan ditularkan oleh para pelacur ini macam-macam antara lain kencing nanah, genorhea, shiplis dan lain-lain, tapi yang lebih parah sekarang ini adalah virus HIV/AIDS yaitu virus yang paling rentan didapat ketika berhubungan intim dengan pelacur yang tidak “bersih”. Dan karena virus HIV terjangkitnya lewat hubungan sex, maka dengan mudah akan menyebar ke anak-istri di rumah apabila si suami telah terjangkit dari orang lain dalam hal ini dari perempuan pelacur.

Dengan demikian sudah selayaknya untuk kaum laki-laki (suami) untuk selalu menjaga dirinya dari berbagai macam bahaya penyakit yang ditularkan dari hubungan sexual yang tidak bertanggung jawab, karena bukan hanya anda yang akan menderita, tapi terlebih keluarga, dalam hal ini anak dan istripun akan tertular.

Tanggung Jawab Siapa ?

Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah tanggung jawab siapa untuk bisa meminimalisir keberadaan kaum PSK ini, karena kalau bicara menghilangkan keberadaan mereka tampaknya hal yang mustahil atau tidak masuk di akal, karena dalam sejarahnya kaum PSK ini tidak mungkin dihilangkan.

Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melokalisasi keberadaan mereka. Tapi nampaknya hal ini juga menjadi mustahil, karena kota Ternate sudah dicanangkan oleh wali kota kita (Drs. Syamsir Andili) sebagai kota Madani, yang di dalamnya tersimpan ketaqwaan, dan keimanan yang tentu saja beliau tidak akan menyetujui ide ini.

Tapi cobalah kita renungkan, bahwa tentu saja kita tidak mau menjadi bangsa yang munafik, setiap hari kita sholat kita bicara tentang dosa dan neraka, sementara kita sering plesir ke luar kota untuk refresing dan dan berpesta sex dengan para PSK di kota-kota besar seperti Jakarta, karena sudah menjadi rahasia umum para pejabat kita sering ke Jakarta untuk “refresing”.

Yang paling penting untuk saat ini adalah kita harus bersatu padu antara pemerintah daerah, Dinas Sosial, LSM, dan semua orang yang merasa dirinya sebagai pemerhati perempuan dan keluarga, untuk turun tangan langsung menangani masalah ini, karena semuanya menjadi tanggung jawab kita bersama, jangan lagi terjadi kasus “Ternate Lautan Hot” yang berimplikasi bahwa pemerannya adalah seorang PSK profesional. Selain di swering yang menjadi tempat mangkal mereka, ada lagi tempat mangkal baru mereka, yaitu di ruko-ruko yang berhadapan langsung dengan Mesjid Raya. Ditengarai setiap malam terjadi transaksi sex bebas antara kaum PSK liar dengan lelaki-lelaki hidung belang di kota Ternate yang konon katanya mengedepankan perberadaban Madani. Sangat ironis…….!

Baca selengkapnya......

The Procession of ”Jou Kolano Uci Sabea” & The Idul Fitri Prayer in the Sultanate Mosque  

Posted

Narration by : Busranto Abdullatif Doa
Photography by : Maulana
Translated by : Bobato

Every 1st date of Syawal and the date 10th Zulhijjah month in the Hijriah year, all Muslim group a world carried out Sholat Idul Fitri religious duties and Idul Adha. In spite of that for the available Muslim community in Ternate also had an obligation to carry out these religious duties after a month beforehand carried out the obligatory fast in the Ramadhan month.


The Procession

Gotten by an unique habit that only was in the Ternate environment of the sultanate palace was the activity procession of Sultan who descended from the Palace to carry out id prayer religious duties in the Ternate sultanate mosque that be at a distance around 500 m. from the palace building.

Seen from the corner of this activity report, was a ceremonial habit on the departure of Sultan from the Palace headed towards the Mosque of Ternate Sultanate to carry out the Idul Fitri and Idul Adha holiday . This activity has taken place in the Ternate environment of the sultanate palace for hundreds of years. This procession was in the Ternate language mentioned with the term of “Jou Kolano Uci Sibea”.

Jou Uci Sibea was still continuing to be carried out by the Ternate community till at this time, with the note if at the time of the implementation of the Idul Fitri Holiday and Idul Adha Sultan of Ternate now was in the palace or in the Ternate city. However when Sri Sultan Haji Mudaffar Shah - II in the two public holidays had not been in the place, then this procession was not carried out. The core from the implementation of this procession was the presence Sultan in the middle of his people who was loyal and was ready always to accompany Sultan’s party headed towards the mosque. (the people was meant to be the Ternate community of the traditional environment, they are usually mentioned with the term of “Bala Kusu se Canoe-Kano”).

Usually, three or two days before the implementation of the Id Prayer, all equipment and all the requirements that were needed in this procession has been prepared fully by the Sadaha Kadato that was led by a person of Sowohi that also was helped by Morinyo (the Adjutant the Sultan) and Alfiris (the Task Force). The preparations activity that they were done take the form of:

1. Carried out the co-ordination with Mahimo (the Village Head) to make an announcement that Sultan at this time was in the palace and will carry out the id prayer in the Mosque of Ternate Sultanate including the community in the Hiri island and the Jailolo coast.
2. Ascertained the official that carry out tabuh the gamelan and the gong to accompany the party’s trip towards the mosque.
3. Chose the male child totalling 12 people to bring a set of equipment of “Kabasarang Kolano”.
4. The completeness that was imposed (greatness clothes) Sultan.
5. The greatness umbrella of the Sultanate (3).
6. The special seat that was used to carry Sultan (ditandu).
7. Gamelan equipment to accompany Sultan’s party towards the mosque.
8. The Khatib stick to be used when rising to the platform during delivered preached.
9. The tray to place the text book of the sermon.
10. The white tablecloth the cover of the Tray.
11. A set of equipment of “Kabasarang Kolano”, that consist of:

a). The Greatness stick of the Sultanate.
b). The Kesultanan flag, that was acknowledged as “Paji Goheba Ma-Dopolo Romdidi”.
c). The place of Sultan’s saliva.
d). Sultan’s Copper helmet.
e). The Greatness sword.
f). Bross Sultan.
g). The place washed Tangan from Copper.
h). The Penang place/Betel. I). Etc.

12. Carried out the co-ordination with the side of the palace chef to prepare ate adequate in accordance with the need to eat just sufficient after the implementation of the id prayer in the sultanate mosque.

The Procession to the Mosque

The determination of the attendance of the date 1 month syawal in the Hijriah year in Ternate was appointed with produced by Ruk’yat that was done since the evening. Traditionally, ruk’yat was monitored from the Ruwa village the Ternate island that appear before to the west, because of the Ternate city was in the east coast the Ternate island. The Ruk’yat implementation was carried out by the combination of several officials from the Ternate sultanate mosque, the official from the Heku mosque and several other mosques in Ternate.

The official who carried out the task of the observer ruk’yat this usually spent the night in the Ruwa village and came back after the sunrise prayer by the morning. The latest news from results ruk’yat this was sent in by the morning all through the village in order to be known by the community by using the symbol of the sign. If their observation brought results then the symbol language that was sent was “Kate-Kate” (= the date 1 Syawal month came), whereas the monitoring did not bring results, including because of the overcast weather, then they mentioned him “Moa” (= straight, his intention not there are those that could be seen).

The community that wants to carry out the id prayer in the sultanate mosque usually after the direct subuh prayer in a crowd departed from his house headed towards the palace. Pakain that is put on by the traditional community in Ternate usually coloured and plain without the motive or illustrated. The cover of the head that was used to carry out the id prayer in the sultanate mosque berfariasi, there were those who used the black cap, the pilgrim’s cap (white), Tuala Lipa Batik, but most that used Tuala Lipa Kuraci (was yellow, that was the identity of Ternate sultanate heroism that already eksis since hundreds last year).

Around struck 06,00 WIT, Bobato Akhirat (the Moslem Council) that was headed by a person of Kadhi or was often greeted by Jo’ Kalem as well as his subordinate that consisted of 5 great priests in the sultanate mosque (the Priest Jiko, Imam Java, Imam Sangadji, Imam Moti, and the Priest the Nation) by continuing to express the echo of Takbir, while rising to the ladder of the palace to appear before the Sultan while reporting that all readiness has for the implementation of the id prayer been prepared fully, was kept being waiting for the presence of Sri Sultan.

Now the other officials and the community that already since earlier gathered and waited in the yard of the page of the palace faced the palace balcony so that could with the party headed the mosque. As was explained above, after reporting they were given 1 stick that was used by the preacher when rising to the platform to send his sermon and a Tray that were covered white cloth contained the text of the sermon that will be sent in the mosque platform as well as three greatness umbrellas of the sultanate.

After accepting this equipment, the Sultan afterwards ordered them to precede and be waiting in the ladder. Whereas the stick and the Tray that were covered white cloth at once by the official was carried to the mosque before.

Instantly began to be able to be heard the voice dentingan the gamelan and the gong solved the quiet atmosphere of the community that since for some time was full of wisdom joined this procession. The gamelan that was used till at this time was the only legacy from Zainal Abidin Shah Sultan who governed from the year 1486–1500. The official of the gamelan hammer was the past inheritance, namely them who became the descendants from penabuh the generation beforehand.

Around five minutes after boys the preacher’s stick and the tray descended from the right-hand ladder of the palace balcony, several male children aged 8–12 the year, that dressed very white and the headband was black (lastar) one after the other menuruni the ladder of the palace by bringing Kabasarang Kolano equipment.

That led most front used coloured clothes oranye that led kepompok the bearer Kabasarang Kolano this. He carried the Kebesaran Stick of the Sultanate, along with behind carried the Flag of Kesultanan Ternate that is “Paji Goheba Ma-Dopolo Romdidi”. Afterwards following behind that carried the Place of Sultan’s Saliva, behind still put on the Helmet of Tembaga Sultan, following behind still brought the Place of Penang Betel, afterwards a Pedang Kebesaran et cetera lined up behind as many as 12 children, that symbolised 12 months in the calculation of the Hijriah year.

After the Kabasarang Kolano line of the group of the equipment bearer, just Sri Sultan left the palace, while slow investigated the ladder descended by being guarded by the palace senior figures, and the official who sheltered him for the trip. At the time of walking down the ladder of the palace, all the audience especially to the Kusu Army se canoes took the attitude gave the honour to the Sultan. The position gave the honour to the Sultan and the palace family according to the person’s Ternate tradition was by means of taking the sit position in a focusing manner on the end toes while lifting the two hands that were united in front of the face in a second manner the thumb or the two index fingers was stuck at the end the stick of the nose. The position gave respect like this almost the uniform to each kingdom that once exist in the Indonesian Archipelago. (see the picture in Indonesian posting, before).

Baca selengkapnya......

SONE Ma-DINA / DINA SONE, Tradisi & Ritual Seputar Wafatnya Seseorang di Ternate  

Posted

Oleh : Busranto Latif Doa
===================================================================

Sejak agama Islam masuk dan berkembang di daerah Ternate dan sekitarnya (Jazirah Maluku Utara), maka berkembang pula syariat Islam di daerah ini, terutama penerapan syariat Islam yang pernah dilakukan oleh Sultan Zainal Abidin, raja Ternate yang ke-19 (1486–1500).


Sone ma Gunyihi

Terbentuknya masyarakat Ternate memang ada sudah jauh sebelum datangnya dan berkembangnya agama Islam di daerah ini. Berbagai tradisi lama masyarakat Ternate yang telah berlangsung ratusan tahun sebelumnya tidak serta merta ditinggalkan begitu saja, kecuali yang bertentangan dengan hakikat ajaran Islam, perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh pemeluk Islam di daerah ini. Terdapat beberapa tradisi lama yang sifatnya positif terus dipertahankan oleh masyarakat Ternate, terutama menyangkut kehidupan sosial berupa tradisi gotong royong yang dikenal dengan tradisi “Bari” ataupun “Lian”, termasuk tradisi saat hari meninggalnya seseorang.


Tradisi Pada Saat Hari Kematian Seseorang

Dalam kehidupan masyarakat Ternate, bila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut kepada keluarga, saudara dan kerabat. Walau berita duka ini disebarluaskan dengan cara demikian, namun kabar tersebut sangat cepat tersiar ke seluruh kalangan, di tempat kerja, kantor, pasar, bahkan terhadap sanak family yang berada di tempat lain dan di pulau-pulau. Demikian pula setelah teknologi Cellular (HP) merambah dalam keseharian masyarakat Ternate, menjadikan semua informasi menjadi serba instan termasuk berita duka.

Setelah mendengar berita duka ini diketahui, warga masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka, terutama wagra di kampong tersebut berbondong-bondong berkumpul. Kegiatan pertama yang biasanya dilakukan adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa Ternate disebut “Sabua” di depan dan di belakang rumah duka. Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang kubur. Sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan kebutuhan untuk pemakaman seperti ; kain kafan, peralatan memandikan mayat, serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman.

Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, teh, dsb. Kaum ibu-ibu biasanya saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah duka, bahkan di rumah tetangga kiri dan kanan untuk menyiapkan makan semua pelayat yang datang pada saat itu untuk makan setelah selesai upacara pemakaman. Kegiatan ibu-ibu ini dikenal dengan tradisi “Lian” atau sering disebut “Lilian”. Tradisi Lian ini merupakan salah satu dari bentuk gotong-royong dalam masyarakat Ternate.


Ibu-Ibu sedang Lian di rumah duka, mempersiapkan konsumsi untuk Sone ma Dina

Sedangkan kaum bapak mempersiapkan semua kebutuhan pemakaman yang sudah menjadi “Fardu Kifayyah” bagi umat muslim yakni untuk memandikan mayat, mengkafani, men-sholat-kan lalu kemudian segera menguburkan jenazah secara layak menurut syariat Islam.

Biasanya sebelum dilakukan pemakaman, ada musyawarah keluarga untuk menentukan masih adakah kerabat almarhum terutama anak kandung yang harus ditunggu kehadirannya sebelum pemakaman dilaksanakan. Hal ini sering terjadi mengingat tidak semua anggota keluarga berada di Ternate saat menjelang wafat. Bila keputusannya harus ditunggu, maka upacara pemakaman akan ditunda beberapa jam, namun dalam musyawarah tersebut diputuskan untuk tidak menunggu, maka akan segera dilaksanakan pemakaman.

Sebelum jenazah dikeluarkan dari rumah duka, biasanya dilakukan semacam seremonial yang dipimpin oleh salah satu yang mewakili tuan rumah. Setelah memberikan sedikit kata pengantar, diharapkan kepada seluruh warga yang hadir pada saat itu untuk memberikan maaf kepada almarhum sekaligus mengikhlaskan utang-piutangnya semasa hidupnya.

Dalam masyarakat Ternate, setiap warga muslim yang meninggal dan hendak diarak menuju pemakaman biasanya diiringi dengan alunan “Laa ilaaha illallah hu laa ilaaha illallah, Laa ilaaha illallah Muhammadar Rasullullah ” yang diucapkan secara terus menerus oleh seruruh pelayat sejak dari rumah duka hingga sampai di lokasi liang kubur. Irama alunan ini-pun khas dan hanya dilantunkan pada saat mengantarkan mayat ke kubur. Kebiasaan ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan “Kalmaha”. Bagi masyarakat Ternate, alunan dan irama Kalmaha ini merupakan suatu tanda berkabung, dan setiap orang yang mendengar Kalmaha pasti terharu, sedih bahkan banyak yang meneteskan air mata duka atas perginya sang kerabat untuk selamanya.

Pemakaman dilaksanakan sebagaimana biasanya orang muslim Indonesia melakukannya. Hanya saja ada kebiasaan tertentu yang mungkin berbeda dengan daerah lain di Indonesia ini. Contoh misalnya; setelah mayat diturunkan ke liang lahat, kain putih yang dijadikan seprei pada saat mayat ditandu dihamparkan menutupi ke permukaan liang lahat yang ditarik keempat ujung kain tersebut menutupi liang lahat, sehingga hampir tidak ada yang melihat aktifitas yang dilakukan oleh petugas dalam liang lahat. Ada satu kebiasaan lagi yaitu; setelah mayat diletakkan di dalam liang lahat, dan setelah tali pocong dilepaskan kemudian mayat yang terbaring dihadapkan menghadap kiblat, maka saat itu juga salah satu dari petugas yang berada di dalam liang lahat mengumandangkan azan dari awal hingga akhir.

Kalau ditanya mengapa demikian ? Mereka berargumen bahwa pada saat kita lahir ke dunia ini, suara yang pertama kali didengarkan di telinga kita adalah suara azan sehingga pada saat kita meninggal dunia dan hendak dikuburkan di liang lahat sebelum ditimbun dengan tanah, azan-pun harus dikumandangkan. Menurut mereka, hal ini mengandung makna bahwa kita manusia hidup di dunia ini berada diantara dua azan, yaitu azan awal dan azan akhir.


Para Bobato Akhirat

Satu lagi tradisi lama masyarakat Ternate, adalah tali pocong tersebut dibawa pulang ke rumah duka, kemudian dipotong dan diikat seperti gelang di setiap tangan kerabat dekat almarhum, sebagai tanda duka. Tali pocong ini tidak bias dilepas kecuali nanti setelah “Hoi Gunyihi” yaitu setelah 11 hari meninggal. Tradisi dan kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat di kota Ternate, namun di daerah tertentu masih melakukannya.

Setalah upacara pemakaman selesai, seluruh pelayat kembali ke rumah duka untuk melaksanakan santap bersama dengan keluarga yang berduka yang sejak dari tadi disiapkan oleh kaum ibu-bu. Makna dari makan bersama ini adalah bertujuan menghibur keluarga yang berduka kare ditinggal almarhum.

Setelah itu, sebagian pelayat kembali ke rumahnya masing-masing, namun masih ada sebagian yang masih berkumpul di rumah duka untuk mempersiapkan kue-kue untuk konsumsi pada acara Tahlilan hari pertama pada menjelang malam hari nanti. Tahlilan terhadap kematian seseorang di dalam masyarakat Ternate dikenal dengan sebutan “Tahlil Sone ma-Dina”. Tahlilan malam pertama ini dikenal dengan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi” (Tahlilan Malam ke-1). Inti dari tulisan ini adalah pembahasan tentang masalah ini. Sedangkan uraian tersebut di atas adalah pengantar dan gambaran tentang tradisi seputar saat hari kematian.


Seputar Pelaksanaan Tahlilan “Sone ma-Dina”.

Setiap meninggalnya warga masyarakat muslim Ternate, bahkan di daerah lain di Maluku Utara seperti di Tidore, Jailolo, Bacan, Makian, Moti, Mare, Kayoa, Obi, Sanana dan masyarakat muslim di Halmahera, di daerah-daerah tersebut, kebiasaan pelaksanaan tahlilan Sone ma-Dina ini hampir dilaksanakan di semua tempat. Namun demikian juga terdapat beberapa kelompok masyarakat yang sudah tidak melaksanakan tahlilan Sone ma-Dina ini. Mereka ini, oleh masyarakat yang masih melaksanakannya menyebutnya sebagai “Orang Muhammadiyah” yang menurut mereka tidak pernah melaksanakan tahlilan dan ziarah kubur. Demikian pemahaman mereka terhadap “aliran” Muhammadiyah.

Pengertian “Sone ma-Dina” atau “Dina Sone” secara harafiah mengandung arti; Sone=meninggal sedangkan Dina=sebutan terhadap jumlah hari setelah meninggalnya seseorang. Pelaksanaan tahlilan Sone ma-Dina dilaksanakan pada malam-malam ganjil setelah hari pemakaman. Tahlilan Sone ma-Dina pertama kali dilaksanakan pada malam hari pertama (ke-1) setelah hari pemakaman yang disebut dengan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi”. (Futu=malam, Rimoi=satu).


Tahlilan Gogoro Dina

Adapun penyebutan dan pelaksanaan Sone ma-Dina di Ternate didasarkan pada angka bilangan hitungan dalam bahasa Ternate. Contoh angka bilangan hitungan pelaksanaan Sone ma-Dina dalam bahasa Ternate adalah sebagai berikut :

Pelaksanaan Tahlilan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi” dilaksanakan pada malam hari setelah hari pemakaman. Pada tahlilan hari pertama ini didalam kamar tidur dibuat semacam pusara yang terhampar di atas tempat tidur yang digunakan almarhum semasa hidupnya. Diatas tempat tidur di dekat pusara diletakkan pakaian dan perlengkapan pribadi milik almarhum berupa kemeja dan celana serta barang berharga lainnya seperti, jam tangan, gelang, kopiah dsb. Tempat ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan “Gunyihi” atau “Sone ma-Gunyihi”.

Sejak malam itu, ditentukan seorang yang bertugas untuk bertanggung jawab menunggui dan membacakan doa di Gunyihi tersebut. Biasanya ditunjuk dari salah satu dari yang dituakan, misalnya Imam atau pemuka agama kampung yang berpengaruh dan sudah biasa melakukan hal tersebut. Kegiatan ini dilakukan setiap hari hingga hari ke-11 yang disebut dengan “Hoi Gunyihi” (bongkar tempat). Bongkar tempat yang dimaksud disini adalah membersihkan dan membongkar pusara di atas tempat tidur (Gunyihi), dan kamar tersebut bias difungsikan sebagaimana biasa kamar tidur yang digunakan sebelumnya.

Pelaksanaan Dina-Dina selanjutnya adalah hari ganjil malam berikutnya yaitu malam hari ke-3 yang disebut dengan “Sone ma-Dina – Futu Ra’ange” dan malam hari ke-5 yang disebut dengan “Sone ma-Dina – Futu Romotha”. Tahlilan malam ganjil tersebut biasanya dilaksanakan pada malam hari selepas sholat Isya. Sedangkan pada hari ke-7 merupakan pelaksanaan Dina paling besar yang oleh masyarakat Ternate disebut dengan “Dina Lamo” (Lamo=besar).

Para Bobato Dunia

Pada hari ke-7 ini dilaksanakan dua kali tahlilan, yaitu pada sore hari adalah Tahlilan Dina Lamo dan pada malam hari dilaksanakan tahlilan biasa seperti di malam sebelum pada Dina ke-1, Dina ke-3 dan Dina ke-5.

Pada tahlilan Dina Lamo di sore hari, dilakukan dengan besar-besaran yang disertai dengan makanan adat, yang disebut “Jaha se Kukusang” atau juga sering disebut dengan “Ngogu Adat”. (lihat gambar). Para undangan yang akan hadir pada tahlilan Dina Lamo ini terdiri dari “Bobato Akhirat” dan “Bobato Dunia”. Bobato Akhirat adalah para pemuka agama, mulai dari Imam besar, khotib dan modim/muazim. Sedangkan Bobato Dunia adalah para pemuka masyarakat, pemuka adat dan para haji-haji di lingkungan tersebut. Undangan untuk melaksanakan setiap tahlilan disebut dalam bahasa Ternate disebut “Gogoro Dina” untuk membedakan dengan undangan untuk hajatan syukuran (Gogoro Haji) atau perkawinan (Gogoro Kai).


Ngogu Adat (= Jaha se Kukusang)

Tempat duduk yang diatur-pun tidak sembarangan. Biasanya para Bobarto Akhirat bertempat duduk di sebelah kiri berderet ke kiri mulai dari para Imam lalu para khotib dan para modim. Mereka biasanya menggunakan jubah dan sorban. Sedangkan para Bobato Dunia biasanya berada di deretan sebelah kanan, mulai dari yang dituakan hingga para haji-haji di lingkungan tersebut. (lihat gambar).

Pelaksanaan Tahlilan Dina Lamo pada sore hari, dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan tahlilan dan doa yang dipimpin oleh Imam besar. Doa yang dibawakan adalah “Doa Alham Tarekat” dan “Alaikayaa”. Doa ini dilakukan karena menurut mereka pada hari ke-7 kematian seseorang sang almarhum di alam kubur (barzah) mengalami apa yang disebut “Leo-Leo Toma Kubu ma-Daha”. Pada pelaksanaan tahlil Dina lamo ini, para peserta tahlilan mengenakan kalungan bunga khusus di atas kepala mereka (lihat gambar).

Setelah selesai mereka istirahat sebentar, sementara yang lainnya (hadirin yang tidak ikut tahlilan) mempersiapkan dan mengatur maklanan adat di atas meja panjang tempat dilaksanakannya tahlilan Dina Lamo tadi. Namun dalam pelaksanaan bacaan doa untuk menyantap makanan adat, kalungan bunga di kepala peserta tahlilan tidak dikenakan lagi. Makanan yang disajikan sama persis seperti pembahasan pada artikel sebelumnya (Makna Filosofis Tradisi saro-Saro dan Joko Kaha….). Pada menjelang ba’da Isya, dilanjutkan dengan tahlilan malam.

Tahlilan berikutnya adalah malam hari ke-9 dan malam hari ke-11. Pelaksanaan tahlilan ini sama seperti pada malam-malam sebelumnya. Pada hari ke-11 ini dilaksanakn apa yang disebut “Hoi Gunyihi” (bongkar Tempat/pusara di kamar tidur) pada sore harinya seperti penjelasan di atas.

Selain Hoi Gunyihi ini, terdapat satu tradisi lama masyarakat Ternate, yaitu “Parasi”. Tradisi ini dilakukan di bagian belakang rumah duka. Tradisi Parasi adalah tradisi saling menyiram dengan air bekas cucian beras, saling kejar-mengejar untuk menggosok kotoran hitam dari belanga yang sudah di oleskan ke tangan untuk dioleskan lagi ke wajah siapa saja yang ditemui di sekitar dapur ataupun di sekitar belakang rumah duka.

Tradisi ini biasanya dilakukan oleh keluarga duka, sanak family dan kerabat yang sejak hari pertama kematian datang membantu memasak (Lian) selama pelaksanaan Dina-Dina di rumah duka. Suasana di belakang rumah menjadi hiruk-pikuk dan penuh tawa dan saling kejar-mengejar satu sama lainnya.

Satu batasan yang harus dipatuhi adalah, saling mengejar dan beraksi dalam tradisi ini hanya di bagian dalam rumah hingga ke belakang saja, tidak boleh sampai ke depan rumah atau di jalan raya depan rumah. Makna dari tradisi ini adalah saling menghibur dan mmenghuilangkan kesedihan setelah ditinggal sang almarhum selamanya. Saat ini tradisi “Parasi” ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat kota Ternate, namun di daerah-daerah tertentu masih melakukannya.

Kembali kepada pembahasan tentang Sone ma-Dina…. Setelah pelaksanaan Hoi Gunyihi, tahlilan dilaksanakan pada hari ke-15 yang disebut “Sone ma-Dina Futu Nyagirimoi se Romtoha” yang dilakukan pada malam hari setelah sholat Isya. Setelah itu, dilaksanakan tahlilan lagi pada tahlilan hari ke 40 yang disebut dengan “Sone ma-Dina Futu Nyagira”. Ada sebagian masyarakat Ternate melakukannya pada hari yang ke-44.

Pada tahlilan Dina Sone pada hari yang ke-40 ini, disertai dengan kegiatan membersihkan kuburan. Kegiatan ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan ”Ruba Kubu” (Bersihkan Kuburan) karena sejak hari pertama meninggal hingga hari yang ke 40 begitu banyak bunga rampai dan irisan daun pandan yang ditaburkan di atas pusara/kuburan almarhum sudah sangat banyak dan menumpuk yang dalam bahasa Ternate disebut dengan “Bunga Rampe se Pondak Tofu”.

Setelah empat puluh hari kematian, tahlilan dilakukan lagi pada hari yang ke-100, namun sebagian masyarakat Ternate masih melakukannya pada kelipatan sepuluh setelah 40 hari kematian, yaitu hari ke-50, hari ke-60, hari ke-70, hari ke-80 dan hari ke-90. Setelah seratus hari meninggal, masyarakat Ternate malaksanakan tahlilan maninggalnya almarhum pada hari ke 1 tahun meninggalnya almarhum. Namun ada sebagian masyaraklat Ternate yang masih melakukannya sebelum satu haun yaitu pada hari yang ke-200.

===================================================================
(Hasil wawancara Penulis tanggal 21 Agustus 2008 di Ternate pada saat pelaksanaan Tahlil Dina Sone Alm. Abd Rahim Laha Sambelo )

Baca selengkapnya......

Old Ternate Palace & Old Mosque In Ternate



View of Ternate Town

Klik Tampilan Slide