Mengenal ORANG TOGUTIL, Suku Terasing di Pedalaman Pulau Halmahera - Maluku Utara  

Posted


Penulis : Busranto Latif Doa
Sumber Foto :
1) Malik Latif, PT. Aneka Tambang Geomin Buli
2) Disbudpar Kab. Haltim
=================================

Bila mendengar kata “TOGUTIL”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.

Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.


Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Hal seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su'ud Sukahar dalam tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21 Agustus 2008 yang menyentil bahwa; “Enampuluh tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera”. Walaupun mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.

Seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel-artikel pada posting sebelumnya bahwa pada zaman Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.

Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku Utara” juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.

Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.

Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid (orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern seperti sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.

Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate ArchipelSerie Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.

Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.


Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.


Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.

Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.

Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.

Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti Suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, Suku Sakai di Sumatera dsb.

Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.

MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI WASILEI

Gambaran rinci tentang pemukiman, asal-usul dan kehidupan suku Togutil di pedalaman pulau Halmahera ini sama sekali belum diketahui oleh dunia pengetahuan kita. Oleh karena itu sangatlah sukar untuk memperoleh keterangan yang terperinci dan terpercaya dari laporan-laporan yang ada tentang Halmahera tanpa melakukan sendiri penelitian di lapangan.

Walaupun demikian, pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura Ambon pernah melakukan penelitian lapangan yang bersifat Eksplorasi melalui pendekatan Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil di pedalaman Tobelo untuk mencari jawaban atas kegagalan usaha pemukiman suku terasing ini, yang laporan penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni; Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.

Saya mengutip beberapa point hasil penelitian tersebut, yang menyebutkan bahwa; Menurut hasil penelitian ini, jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :

1. Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat sebagai tempat bernaung.
2. Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah teratur (di Toboino dan Tutuling).
3. Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).

Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.

Orang Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil Dodaga (kelompok kedua dan ketiga). Setiap pertemuan antar kedua golongan ini pasti diselesaikan dengan perkelahian. Kelompok kedua dan ketiga menganggap masing-masing seketurunan atau segolongan, sedangkan kedua golongan ini sama sekali tidak mengakui orang Biri-Biri sebagai orang yang segolongan dengan mereka.

Orang Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim pada 3 lokasi yang dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar 30 km dari ibukota Kecamatan Wasilei (Lolobata). Sebagian dari mereka adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan pada tahun 1971. Ketiga lokasi tersebut adalah; Paraino, Toboino dan Tutuling seperti yang sebutkan dalam hasil penelitian di atas. Orang Togutil Dodaga berasal dari dua tempat, yaitu :
1. Daerah Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao sendiri.
2. Daerah Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.



Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Maba.


Orang-orang Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai kira-kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan penduduk lain di sekitar Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini dapat dimengerti karena mereka adalah pelarian.

Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda jaman dahulu kepada nenek moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung tidak diketahui secara pasti.

Dalam buku “De Ternate Archipel” (1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa; Pada tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting (pajak) sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929 setiap tahun ditambah dengan 0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua argument, yakni :

1. Apabila benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga adalah orang-orang Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya pungutan Balasting.
2. Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang melarikan diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh sebelum tahun 1927.

Dengan demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah orang-orang (TobeloBoeng) atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat ini tidak ada satu keteranganpun yang memberi petunjuk jelas tentang perbedaan tersebut. Dan rupanya, hingga saat ini pengertian “Orang Togutil” selama ini telah dipakai untuk penamaan semua orang pengembara yang hidup di hutan pedalaman pulau Halmahera di Maluku Utara.

Para peneliti dari Universitas Patimura yang melakukan penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa adanya penolakan orang-orang Togutil Dodaga untuk menerima anggapan bahwa mereka termasuk suku bangsa Togutil dan bahklan mereka menunjuk orang lain (orang Biri-Biri) sebagai orang Togutil, hal ini mungkin sesuai kenyataan bahwa mereka itu adalah orang-orang Tobelo (Boeng) yang dahulu melarikan diri ke hutan. Kenyataan ini ditunjang oleh penunjukan tempat asal mereka yaitu pada Desa-Desa asal Tobelo dan Kao yang bukan tempat kediaman suku Togutil asli.

Dengan demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku Togutil itu..? Meskipun persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat ini orang mengenal Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu;
1) Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah, dan
2) Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih menggunakan pola hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.

HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL

Orang suku Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian besar berada di hutan pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung yang dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju.

Orang-orang suku Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka; terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah mereka.

Karena hutan adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan unsur magis tersebut, pohon juga bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). Saya mengutip beberapa catatan pada hasil Lomba YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai Simbol Kelahiran, Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan dalam www.kabarindonesia.com tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa ada beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli, Halmahera Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi lahir, maka salah satu anggota keluarga harus menanam satu pohon, yang menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga.


Hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan, dengan tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga.


Orang-orang Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan mana akan tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua orang.

Orang-orang suku Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani, sistem mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka waktu tertentu, kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan makanan masih ada, para anggota keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari makan. Mereka akan kembali melakukan pengumpulan makanan dan berburu apabila cadangan makanan hampir habis. Orang suku Togutil biasanya mendapatkan makanan langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan umbi-umbian.

Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat. Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan kelelawar.

Orang-orang suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara berkelompok, misalnya meramu Sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku) dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka menangkap ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi panci penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda dirangkai jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari biasa, bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang malam hari.

Bagi orang-orang suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil tanpa anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena peranan anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm berburu maupun mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan disertai anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor anjing dapat menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan maupun antar kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh, keretakan hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat timbul akibat seekor anjing.

Informasi lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini amat beragam. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996) menyebutnya sebagai “Suku Togutil” yang tinggal di hutan Dodaga dan Tutuling, Kecamatan Wasile, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Menurut Ensiklopedi ini, populasi orang Togutil saat itu 600 orang. Sumber lain menyebutnya “Oho Ngana Manyawa” yang bermakna orang hutan atau orang rimba yang suka membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.

Dalam tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130 menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari Lembaga Pelestarian Burung Indonesia, dan Atiti Katango, jagawana dari Taman Nasional (TN) Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke tepi Sungai Tayawi, dekat Kampung Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa Bale, mengemukakan bahwa warga Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara berceritera kepada mereka bahwa orang-orang suku Togutil itu dulu warga yang "lari pajak" (tak mau bayar pajak), jadi lari atau diusir Belanda masuk hutan. Mereka bisa ditemui pula di sekitar Desa Tutur, Totodoku, Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan Baken. Mereka disebut Tobelo Dalam atau Tobelo Hutan, untuk membedakan dari Tobaru, Tobelo Kampung atau yang sudah ke kota.

Suku Togutil yang kita kenal hingga saat ini, suatu saat nanti siapa sangka mungkin hanya tinggal kenangan. Kini populasi suku ini semakin berkurang. Hal ini bisa saja karena kondisi kebiasaan hidup mereka yang tidak teratur yang mengakibatkan jumlah kelahiran tidak sebanding dengan kematian dari anggota suku ini. Hal lain adalah tabiat mereka yang takut melihat manusia lain dan ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan pada musim sulit sehingga pada akhirnya mempengaruhi perkembangan populasi dan reproduksi genetika mereka. Semoga suku ini tidak mengikuti jejak Suku Moro di Halmahera utara yang hilang misterius (gaib) di abad sebelumnya. Semoga saja “National Geographic Indonesia” berminat melakukan eksplorasi ke tempat ini……!

Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita anggap “kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua, yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang merasa diri si "beradab" ini yang harus belajar kearifan dan keramahan dari mereka. Saya yakin anda semua pasti setuju dengan ini…! (@.Busranto Abdullatif Doa)

( Original post by : @ http://www.busranto.blogspot.com & http://www.ternate.wordpress.com )

===================================================================

Resourches :

1. De Ternate Archipel” Serie Q, No.43, Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
2. Mus J. Huliselan, Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
3. Majalah Ilmu-Ilmu Sastra - Indonesian Journal of Cultural Studies, Jilid VIII No.2, Edisi Nopember 1979, Penerbit Bharatara.
4. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (LP3ES, 1996).
5. Diejen-Roemen J. M. v., Uit het land waar St. Franciscus leefde. Over bewoners van Tobelo Boeeng. (Togutil, Lino, Biri-biri). Sejarah Masuknya Agama Kristen di Tobelo-Maluku Utara, 1956. p.13.
6. _________, Woordenlijst Togutil, 1958, p.11.
7. Martodirdjo H. S, Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1984, p.53.
8. _________, Organisasi Sosial Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1985, p.35.
9. Anthon Ngarbingan, Pohon Sebagai Simbol Kelahiran : Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, Lomba YPHL, 2008.
10. Christantiowati, Rachma Tri Widuri dan Atiti Katango dari Lembaga Pelestarian Burung Indonesia, Togutil – Tobelo, Dalam tulisan : Hutan & Sungai Rumah Kami, Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130.
11. John Sharpe & Andrew A. Snelling, Evangelization of the Togutil, March 1994,
12. Djoko Su'ud Sukahar (Pengamat Budaya), Suku Asing & Terasing, detikNews, Edisi Kamis, 21 Agustus 2008.
13. David Purmiasa & Herman Teguh (www.korantempo.com), Suku Togutil Yang Bersahaja, yang dikutip; www.halmaherautara.com, Edisi 03 Maret 2008.
14. B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate, Depdikbud, Jakarta.
15. Disbudpar Kab. Haltim (Gambar Poster).

Baca selengkapnya......

THE HIDDEN HISTORY OF JAILOLO, ( Menelusuri Jejak-Jejak Kesultanan Jailolo)  

Posted



==================================================================
Narasi : Busranto Latif Doa
Sumber Foto : Koleksi Pribadi

Suatu hal yang jarang dilakukan oleh para pemerhati sejarah dan budaya “Moloku Kie Raha” (Maluku Utara) adalah membahas tentang Kesultanan Jailolo di pulau Halmahera yang telah lama vacum. Hal ini disebabkan minimnya sumber dan referensi yang menunjang pembahasan tentang hal itu. Dalam penulisan sejarah oleh bangsa Eropa, Jailolo sering ditulis “Gilolo” yang menurut sebagian besar sumber barat dianggap sebagai cikal-bakal kerajaan-kerajaan berikutnya di kawasan Maluku bagian utara, (kerajaan pertama dan tertua di jazirah maluku).

Menelusuri dan membahas jejak sejarah kesultanan Jailolo, menjadi lebih menarik akhir-akhir ini, setelah dinobatkannya Srd. Abdullah Abdul Rahman Haryanto Syah menjadi Sultan Jailolo yang dilakukan di dalam keraton kesultanan Ternate atas prakarsa Sri Sultan Ternate ; H. Mudafar Syah II pada beberapa tahun yang lalu. Yang lebih menarik lagi dari itu adalah menelusuri keturunan dan sisilah para raja Jailolo itu sendiri.


Sekedar info, bahwa beberapa peneliti sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti ; Donald P. Tick gRMK (di Belanda), Christoper Buyers dan Hans Hagerdal hingga saat ini pun belum bisa membuat suatu tulisan atau buku yang membahas tentang jejak sejarah dan sisilah raja-raja Jailolo secara utuh dan mendetail. Kendala yang dihadapi adalah keterbatasan sumber dan referensi penunjang dalam merekonstruksi kembali fakta sejarah perjalanan kesultanan Jailolo. Sejauh ini, baru terdapat ahli sejarah ternama dari Universitas Indonesia Prof. DR. Richard Z. Leiriza yang sudah pernah membuat beberapa karya tulis tentang sejarah Raja Jailolo dalam meraih gelar Ph.D tahun 1990 dengan Dissertasi berjudul “Raja Jailolo dan Halmahera Timur: Pergolakan di Laut Seram di awal abad ke-19" (The King of Jailolo and Eastern Halmahera: Social upheavals in the Seram Sea during the early 19th century). Kemudian dipublikasikan oleh Balai Pustaka, tahun 1994.

Buku ini membahas secara detail tentang sepak terjang raja Jailolo yang berkuasa di Halmahera timur dan pulau Seram di Maluku Tengah. (yang menurut periodesasi versi saya adalah periode Kesultanan Jailolo Tahap II dan III saja). Karena yang dibahas oleh beliau adalah “hanya” kejadian atau tempos antara tahun 1811 hingga 1832 saja yang menjadi heavy-nya. Sedangkan kronologis perjalanan sejarah kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya “Kolano Daradjati” hingga saat ini, belum ada satupun ahli sejarah yang mengungkapkan “the hidden history” tersebut. Namun demikian, karya besar Prof. DR. Richard Z. Leiriza tersebut merupakan sebuah hasil kajian yang spektakuler yang belum pernah ditulis oleh siapapun tentang kronologis secara detail pada periode tersebut.

Memang sumber dan referensi sejarah tentang kesultanan Jailolo sangat minim sekali. Namun dermikian dari ratusan ribu penduduk Maluku Utara yang hidup saat ini, ternyata masih ada yang masih menyimpan dokumen salinan sisilah raja-raja Jailolo, yang ditulis pada selembar “old manuscript”. Sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bagian. Lembaran besar adalah uraian daftar sisilah yang skemanya diuraikan seperti “pohon terbalik”, satu lembar lagi adalah salinan ulang dalam aksara latin, sedangkan satu lagi lembar kecil bertuliskan huruf arab dan yang berlafadz-kan bahasa Tidore adalah Surat Keterangan yang manjelaskan tentang sisilah tersebut.

Kedua lembar bersejarah ini ditulis dalam aksara Arab dengan tulisan tangan bertanggal 4 Rabbiul awal 1277 H, yang bertepatan dengan hari Rabu tanggal 19 September 1860 yang ditulis oleh Sekretaris kesultanan (Tidore) yang biasa disebut Jurutulis Lamo yang waktu itu dijabat oleh Hasan ud-din. Keterangan ini dilengkapi dan disahkan dengan bubuhan “tanda cap asli” kesultanan Tidore (bakar tempel – bukan tinta). Original paper-nya, saat ini ada di tangan keturunan ke-13 dari SULTAN DOA yang beranak pinak di Soa Sambelo kota Tidore.  Semula, selama hampir seratus tahun lebih daftar sisilah keturunan ini bersemayam di Fola Lamo di Soa Sambelo, Para keturunan ini tersebar dimaNa2 di Maluku Utara, mereka semua meminta dirahasiakan identitas mereka.  Ada yang berdomisili di pulau Tidore (; Soasio-Sambelo, Toloa dan Mareku). Ada juga yang beranak cucu di pulau Moti, pulau Makian dan di Desa Gita dekat Payahe. Ada juga salah satu percabangan yang beranak cucu di Dufa-Dufa Pantai Ternate. Ada juga yang di pulau Seram dan Ambon.

Sebelum Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana ini seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya.
Bagi mereka itu semua adalah bagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka pikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam pikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Abdullah Syah bin Abdul Haryanto menjadi “symbol” kesultanan Jailolo modern, membuat ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingat hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi kawula kesultanan Tidore waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik internal antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu.

Kembali pada pembahasan. Dokumen tentang sisilah raja-raja Jailolo ini, jika dilihat dari kacamata historiografi tentang "kesejarahan Jailolo" itu sendiri, dokumen ini adalah sebuah data langka yang sangat dibutuhkan untuk dijadikan salah satu referensi (sumber) dalam studi kajian tentang hal ini. Hampir semua sumber-sumber tentang sejarah yang berghubungan dengan Jailolo yang ada di Leiden Museum Belanda, di Museum di Spanyol, Museum di Swedia, Museum di Inggris, dan dokumen Oxford University dan dokumen digital milik Smithsonian Institute USA, tidak diketemukan dokumen seperti ini.


Sebagai pemerhati budaya, tradisi dan sejarah Maluku Utara, saya sangat berminat untuk studi kajian tentang hal ini. Upaya untuk merekontruksi kembali fakta sejarah tentang sejarah perjalanan kesultanan Jailolo terus saya lakukan dengan menghimpun berbagai sumber tertulis baik di dalam negeri maupun sumber asing. Aspek subjektifitas yang mungkin masih ada pada masing-masing penulis termasuk saya dalam menyajikan artikel saat ini di blog ini, diupayakan untuk diminimalisir sebisa mungkin, agar mencapai sebuah hasil kajian historiografi yang lebih objektif.

Hingga saat ini saya masih sering kontak dan sharing dengan dua orang peneliti sejarah kerajaan2 di Indonesia seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu : Donal P. Tick gRMK dan Christoper Buyers termasuk Hans Hagerdal (silakan searching nama-nama ini di Google Search). Mereka banyak menulis tentang seputar kerajaan2 di Indonesia termasuk kerajaan Jailolo di Maluku Utara. Para ahli sejarah ini tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang sisilah raja-raja Jailolo ini, termasuk keinginan mereka untuk meneliti dari mana asal usul dan sisilah dari Abdullah Syah sang sultan Jailolo modern ini, yang menurut penelusuran saya dalam daftar sisilah tersebut adalah mungkin keturunan dari Prins Gugu Alam (adik Sultan Doa yang tidak pernah menjadi Sultan di Jailolo).

Keturunan Prins Gugu Alam ini termasuk Muhammad Arif Bila yang pada era Tidore sedang dipimpin oleh kaka sultan Nuku (Sultan Kamal ud-din) ia menjabat sebagai Jogugu kesultanan Tidore, namun setelah Nuku menggantikan ayahnya dan menjadi Sultan Tidore, ia diangkat menjadi panglima perang kesultanan Tidore yang handal dan pada puncak kekuasaan Nuku, ia dinobatkan oleh Nuku menjadi Sultan Jailolo yang telah lama hilang, karena nenek moyangnya Prins Gugu Alam juga berasal dari Jailolo. Keturunan Muhammad Arif Bila yang anaknya Muhammad Asgar yg kemudian menggantikan ayahnya ini dibuang ke Cianjur oleh Belanda pada tahun 1832.

Untuk kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, baru kesultanan Ternate yang sudah dipublikasikan melalui website “Ternate - Brief History ”, sedangkan untuk kasulrtanan Tidore, Jailolo dan Bacan belum ada.

Setelah sekian banyak komunikasi & sharing dengan kedua peneliti sejarah ini, saya mencocokan dengan salinan “old manuscript” tersebut (lihat gambar), maka terdapat banyak kesamaan. Dengan demikian menurut saya, untuk sementara ini saya menyimpulkan bahwa; Muhammad Arif Billa (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-7 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Billa – Ada beberapa kemiripan nama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Printah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf, Sultan Jailolo yang ke-5 yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo sekitar tahun 1500-an.

Menurut sumber ini, Muhamad Arif Billa memiliki 4 orang putera. Ayah dari Muhamad Arif Billa yakni Syah Yusuf (bukan Sultan Yusuf - kemiripan nama, juga beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian di desa Tahane. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Muhammad Arif Billa sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis kesultanan Jailolo) beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane

Setelah itu selama sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan Tidore pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari Tidore (1784-1797) yang tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku baru menjadi Sultan di Tidore Muhammad Arif Billa adalah seorang panglima yang handal.


Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I, tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.

Wilayah kesultanan Jailolo sudah dilebur menjadi wilayah Ternate sejak tahun 1635, sedangkan pada masa kekuasaan Sultan Nuku, bekas wilayah kesultanan Jailolo masuk dalam kekuasaan kesultanan Tidore. Menurut beberapa sumber, Muhammad Arif Bila diketahui wafat di daerah Weda pada tahun 1807 karena kecelakaan. Kemungkinan hingga saat ini masih ada makam keramat (Jere) yang masih diziarahi di daerah Weda ini, perlu penelusuran lebih lanjut.

Putera tertuanya Muhammad Asgar diangkat oleh pengikutnya di Halmahera belakang/timur menjadi Sultan Jailolo II, pada periode ke-2 ini. Perlu digaris bawahi bahwa periode kronologis sejarah kesultanan Jailolo Periode I (Kolano Pertama) berawal dari Kolano Daradjat dan berakhir pada masa Sultan Doa saja. (Keturunan Sultan Doa masih tercatat jelas dalam sisilah keturunan ini, mereka tersebar di Maluku Utara, diantaranya\; pulau Tidore – paling banyak, pulau Moti, pulau Makian, pulau Ternate, dsb). Hal ini juga menjadi perhatian kedua peneliti tersebut untuk melakukan penelitiannya nanti di masa yang akan datang.

Pada tahun 1810 Muhamad Asgar ditangkap oleh penguasa Inggris karena Inggris yang sedang berkuasa saat itu tidak mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Kemudian pada tahun 1817 Muhammad Asgar diasingkan ke Semarang dan kemudian dimukimkan agak jauh dari keramaian kota Semarang yakni di sekitar antara daerah Semarang dan Jepara.

Tahun 1825 setelah Belanda kembali berkuasa setelah Inggris, ia dikembalikan lagi ke Maluku Utara dan diangkat oleh penguasa Belanda seperti sebelumnya sebagai Sultan Jailolo dalam pengasingan yakni berkedudukan di pulau Seram Maluku Tengah. Adik Muhammad Asgar yakni Kaicil Haji beserta pengikutnya menyusul ke pulau Seram dan akhirnya diangkat Belanda menjadi Sultan Jailolo III di sana dengan nama Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-din Syah. (Sultan Jailolo di pengasingan - Maluku Tengah)

Karena perselisihan dengan pihak Belanda, akhirnya Sultan Jailolo III ini bersama dengan Jogugu Jamaluddin dan Kapita laut Kamadian beserta seluruh keluarga berjumlah 60 orang diasingkan Belanda ke Batavia kemudian ke Cianjur. Tercatat dalam beberapa sumber bahwa beliau wafat pada tahun 1839 di Cianjur Jawa Barat. Dengan demikian, akhirnya eksistensi kesultanan Jailolo Tahap III inipun berakhir. Dan Maloku Kie Raha saat itu hanya tinggal 3 kesultanan saja, yaitu Ternate, Tidore dan Bacan.

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa menurut asumsi sementara saya, kemungkinan dari keturunan inilah, penelusuran dilakukan oleh Sri Sultan Ternate saat ini (Mudafar Syah) untuk memilih dan menetapkan Sdr. Abdul Haryanto alias Abdullah Syah menjadi Sultan Jailolo saat ini, adalah berasal dari keturunan di Cianjur ini. Untuk hal ini saya belum sempat melakukan wawancara dengan Sultan Ternate. Selain itu, penunjukan Sultan Jailolo ini juga dilakukan dengan ritual khusus oleh Sultan Mudafar Syah II dan memakan waktu yang cukup lama. (biasanya orang Ternate menyebut Sultan Jailolo dengan sebutan JOU TIA”).

Hal ini tergambar dalam syair lagu yang berjudul “JOU TIA” hasil karya Sultan H. Mudaffar Syah yang dinyanyikan oleh "EL-EL” Vocal Group pada era tahun 1980-an, yang syairnya berbunyi ; ..........................
Upaya untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo Tahap IV, pernah dilakukan oleh Dano Baba Hasan pada tahun 1876. Ia meminta pemerintah Belanda mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Menurut beberapa penulis, Dano Baba Hasan adalah kerabat keraton Ternate yang pada tahun 1832 diangkat oleh Sultan Ternate Muhammad Zain menjadi Salahakan (Utusan Sultan) di pulau Seram. Karena mendapat perlawanan dari pihak Belanda yang sedang berkuasa, maka tanggal 21 Juni, Dano Baba Hasan mengakhiri usahanya dan menyerahkan diri kepada Residen Tobias, dan dideportasi ke Ternate dan akhirnya diasingkan ke Muntok di Sumatera. Menurut sisilah tersebut, Dano Baba Hasan adalah cucu dari Abdul Gani, saudara bungsu dari Muhamad Asgar dan Muhamad Hayuddin yang dibuang ke Cianjur tersebut.

Setelah periode untuk menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap IV gagal, Upaya untuk itu dimulai lagi yakni pada periode V dilakukan oleh Dano Jae ud-din di Weda Halmahera Timur pada tahun 1914. Tampilnya seorang Dano dari Ambon yang masih keturunan Dano Baba Hasan mengklaim dirinya sebagai ahli waris, memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo pada periode Tahap V ini. Ia kemudian ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ternate hingga akhir hayatnya. Demikian berakhir pula usaha untuk menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap V juga gagal.

Perlu digaris-bawahi, bahwa semua upaya untuk menghidupkan kembali eksistensi kesultanan Jailolo dan berkuasanya para Sultan Jailolo pada periode II, III, IV dan V, sama sekali bukan berkedudukan di wilayah kultur kesultanan Jailolo yang sebenarnya (Limau Tagalaya), melainkan di tempat pengasingan di luar wilayah kultur kesultanan Jailolo itu sendiri.

Upaya terakhir untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo Tahap VI, maka Sri Sultan Ternate H. Mudafar Syah II mengambil prakarsa untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo yang telah hilang selama ratusan tahun. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi budaya Maluku Utara sebagai symbol pemersatu bangsa dalam wadah NKRI dan juga dalam rangka untuk melengkapi empat pilar persekutuan kerajaan-kerajaan di “Maloku Kie Raha” yang hanya tinggal tiga, yakni; Ternate, Tidore dan Bacan. Dengan menunjuk Srd. Abdul Rahman Haryanto / Abdullah Syah yang mungkin diyakini oleh beliau menurut penelusuran beliau adalah keturunan Muhammad Asgar dan Kaicil Haji (Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-din Syah) yang dibuang oleh Belanda ke Cianjur Jawa barat. Sebab semua masyarakat di Maluku Utara tahu kalau cuma ada tiga pilar/kesultanan saja, itu bukan berarti Maloku Kie Raha lagi, akan tetapi Maloku Kie Ra’ange. (Admin; Raha=empat, Ra’ange=tiga).

Demikian beberapa pointers sharing saya melalui email dengan kedua penulis asing tersebut. Pada kesempatan terakhir via e-mail, Donal P. Tick gRMK, meminta kapada saya gambar/foto diri dari Dano Jae ud-din jikalau ada dokumen tentang itu. Tapi saya rasa sulit untuk mendapatkan gambar tentang Dano Jae ud-din yang mereka maksud. Beliau tertarik untuk meneliti pula tentang keturunan dari Dano Jae ud-din ini kalau masih ada, kata Donal P. Tick gRMK :

Interesting about the descendant of Dano Baba Hasan with name Dano Jae ud-din, who was regarded as dynastychief / heir in 1914. Do you know more about him ? A picture of him would be fascinating. I also would like to know, if the present Sultan is taken very seriously. Some say he is only a creation of Sultan Ternate”. Thank you for all. If you want, you can add some info under the picture of Sultan Jailolo on my website at : http://kerajaan-indonesia.blogspot.com/

Namun sayangnya, pada event SOUTH EAST ASIA ROYAL FESTIVAL di Bali pada tanggal 25-30 November 2008 yang lalu Donal P. Tick gRMK tidak sempat hadir karena ada mega proyek yang tidak boleh ditinggalkan di Belanda, sehingga rencana kami untuk bertemu muka juga tidak terlaksana. Hal ini sehubungan dengan minat kedua peneliti ini untuk mengungkap apa yang mereka sebut ”The Hidden History of Jailolo” .

Sources :
1. Forrest, Thomas. 1780 (1779) A Voyage to New Guinea and the Moluccas, from Blambangan ; Including an Account of Mangindanao, Sooloo, and Other islands; and Illustrated with Thirty Copperplates. Performed in the Tartar Galley, Belonging to the Honourable East India Company, During the years 1774, 1775 and 1776. 2nd Edition. J. Donaldson, G. Robinson and J. Bell.

2. Royal Ark Website, by ; Christoper Buyers
3. Old Manusscript, Personal document from the descendants of Sultan Doa at Ternate Island.
4. Some Contribution and some descriptions from Mr. Donald P. Tick gRMK, based on the source from the list of the genealogy Jailolo Sultanate, the collection Coolhaas in the Nationaal Archief in Den Haag / the Netherlands.
Source of information is almost the same as the list of genealogy of the descendants it Ternate island today. (see it on the picture).
=Sumber tambahan adalah dari kontribusi dan beberapa penjelasan dari Bapak D.P. Tick gRMK, di Hoillad Belanda berdasarkan sumber dari daftar yang silsilah Kesultanan Jailolo, koleksi Coolhaas dalam Nationaal Archief di Den Haag / Belanda. Sumber informasi tersebut hampir sama dengan daftar silsilah dari keturunan Sultan Doa yang ada di pulau Ternat. (lihat pada gambar).


==================================================================
Bahasan tentang hal ini belum pernah dipublikasikan & dibahas oleh siapapun sebelumnya, dan hanya ada di blog ini……

Pernyataan di atas adalah bentuk “klaim” atas “the value of my personal study of history” dari saya selaku penulis artikel. Tidak dilarang “mengutip” semua isi artikel ini…..! Semoga tulisan ini menjadi pemicu kepada semua kalangan yang ingin melakukan “penelitian lanjutan" di masa yang akan datang. Ditunggu tanggapan-tanggapannya, baik “destruktif” maupun “konstruktif”, untuk kesempurnaan, silakan masukan di bawah artikel ini….. Terima kasih…..!

Cibubur, 20 Maret 2009.

Baca selengkapnya......

Old Ternate Palace & Old Mosque In Ternate



View of Ternate Town

Klik Tampilan Slide