Sejarah Tidak Pernah Berdusta  

Posted

(..........Tulisan Lepas..........)
By : Busranto Latif Doa
===================================================================

Setiap bangsa manapun di muka bumi ini, memiliki sejarahnya masing-masing, begitupun berlaku bagi setiap komunitas yang ada di dalamnya. Sejarah sebuah bangsa atau suatu masyarakat tertentu akan menjawab bagaimana masa lalu yang dialami oleh manusianya yang merupakan unsur utama pelaku sejarah itu sendiri.

Demikian pula “sejarah” tersebut akan mengungkapkan bagaimana alam pikir dimana manusia itu hidup, bagaimana terbentuknya kesatuan sosialnya, bagaimana terbentuk budaya masyarakatnya, adat istiadat, norma sosial dan tata krama masyarakat serta proses dinamika perubahannya. Sejarah juga menjelaskan apa makna dari simbol institusi dan pranata yang ada di dalamnya.


Manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk berpikir (Homo Homini Lupus), selain dapat ditinjau dari sudut sejarah, dapat dilihat pula dari sudut sosiologi, psikologi, anthropologi, ekonomi dan lain-lain. Dalam memahami manusia dari sudut ilmu-ilmu sosial tersebut, maka sejarah bertindak sebagai metode dan ilmu bantu.

Suatu peristiwa yang dialami oleh manusia pada masa lampau dikatakan sebagai suatu “Sejarah” apabila merupakan studi dari perkembangan manusia itu sendiri. Setiap kurun waktu (periode) dihimpun dan dibentuk menjadi sebuah catatan “sejarah”yang sempurna apabila kurun-kurun waktu tersebut dibandingkan dan dipersatukan dengan kurun waktu atau periode yang lain sehingga perkembangan dan perubahannya menjadi nyata.

Selanjutnya timbul pertanyaan; Apa itu sejarah ? Seorang sejarawan Austria Willem Bauwer (1877) mengemukakan bahwa sejarah melukiskan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia yang diterangkan pula oleh manusia dalam bentuk tulisan. Peristiwa dalam sejarah itu sendiri beserta unsur manusia sebagai pelakunya merupakan obyek sejarah sedangkan yang merekonstruksi fakta masa lampau tersebut bertindak sebagai subyek.

Ditinjau secara etimologis, kata “Sejarah” dalam bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu yang diambil dari kata Arab “Syajaratun” yang mengandung arti; pohon, keturunan dan asal-usul. Kata sejarah juga diidentikan dengan sisilah atau riwayat. Dari pengertian tersebut dapat ditarik beberapa defenisi tentang arti kata sejarah. Pertama; Suatu peristiwa atau kejadian yang telah berlalu, Kedua; Riwayat dari peristiwa tersebut, dan Ketiga; Semua pengetahuan dan informasi tentang masa lampau.

Sejarah hanya membatasi diri pada manusia sebagai mahluk sosial adalah pengertian sejarah dalam arti sempit, sedangkan sejarah dalam pengertian luas adalah segala bentuk cipta, rasa dan karsa manusia di berbagai aspek kehidupannya pada masa lampau. Karena begitu banyaknya aspek kehidupan manusia, maka ilmu sejarah (Historiografi), menggolongkannya dalam bermacam sebutan, misalnya; Sejarah Kebudayaan yang fokus bahasannya meliputi aspek kebudayaan manusia, Sejarah Politik yang berfokus bahasannya pada bidang politik termasuk sebab dan akibatnya, begitu pula penggolongan dalam penulisan sejarah seperti; Sejarah Nasional, Sejarah Kota, Sejarah Ekonomi, Sejarah tentang kehidupan seseorang (Biografi/Otobiografi) dsb.

Dalam lapangan bidang Ilmu Sejarah juga dikenal adanya “Dimensi Sejarah” yang terdiri dari; Dimensi Masa Lampau (Past), Dimensai Masa Kini (Present) dan Dimensi Masa Akan Datang (Future). Dimensi Sejarah mengandung pengertian bahwa dengan mengerti dan mengetahui masa lampau, orang dapat memahami keadaan masa kini. Dengan memahami keadaan masa kini orang dapat merencanakan apa yang akan dilakukan nanti pada masa yang akan datang.

Jadi, sejarah bukan sekedar kisah atau sekedar cerita masa lampau yang tidak ada manfaatnya. Suatu kejadian yang terjadi pada masa lalu menjadi sejarah pada hari ini, kemudian kejadian-kejadian pada hari ini dikemudian hari akan menjadi sejarah dan kejadian dan peristiwa pada masa yang akan datang akan menjadi sejarah bagi generasi sesudahnya.

Sejarah melukiskan dan menguraikan suatu peristiwa dan tidak pernah sama, tapi ada yang bersamaan. Peristiwa-peristiwa yang pernah dialami manusia tidak akan pernah ada yang sama, karena peristiwa-peristiwa itu tidak saja ditentukan oleh faktor eksternal dari unsur manusianya (atau alam maupun peristiwa sekitarnya) melainkan manusia itu sendiri juga aktif ikut menentukan peristiwa yang dialaminya.

Fenomena ini menurut sejarah sebagai ilmu, tidak berlaku bagi hewan dan tanaman ataupun benda mati. Kalau ditanya apa sebabnya? Maka dengan segera bisa dijawab; Manusia mempunayai akal (jiwa) sedangkan hewan, tanaman dan benda mati tidak. Jiwa atau akal menyatakan diri dalam cipta, rasa dan karsa. Ketiga ciri pokok itu membentuk kebudayaan. Kebudayaan adalah aktifitas manusia merombak alam. Dimana ada bekas tangan manusia di situ ada kebudayaan. Dari kebudayaan ini lahirlah sejarah manusia. Kebudayaan membuat sejarah dan sejarah membentuk kebudayaan. Keduanya saling mempengaruhi (kausalitas).

Apabila tidak ada keinginan manusia untuk mengetahui kejadian dan peristiwa tertentu pada masa lampau, maka orang tidak akan mempelajari sejarah. Demikian pula jika tidak ada keinginan manusia untuk melihat kembali di masa yang akan datang, maka orang tidak akan pernah menulis sejarah (membuat suatu dokumen).

Bertolak pada pengertian ini, maka para ahli sejarah memberikan batasan terhadap peristiwa masa lampau yang masuk kategori sebagai sejarah. Seorang Ahli sejarah terkenal; Arnold Toybee dalam bukunya “A Study of History” mengemukakan bahwa yang dinamakan sejarah hanya menyangkut peristiwa-peristiwa yang hanya membawa perubahan langsung terhadap kehidupan manusia saja.

Pendapat tersebut dapat penulis berikan contoh misalnya; sebuah pohon besar yang terdapat di pinggir jalan raya yang tumbang diterpa angin kencang dan menimpa seorang presiden dan rombongannya yang kebetulan melintas sehingga mengakibatkan tewasnya sang presiden. Ini akan menjadi sejarah yang sangat penting di masa yang akan datang. Akan tetapi apabila peristiwa yang sama yaitu tumbangnya pohon dimaksud namun tidak ada seorangpun yang lewat di tempat tersebut, maka peristiwa tumbangnya pohon tersebut hanya menjadi peristiwa biasa dan tidak mungkin dicatat dalam sejarah.

Ilmu sejarah membedakan suatu peristiwa sejarah yang terkait dengan peristiwa lainnya walaupun bersamaan waktu dalam suatu periode. Meskipun peristiwa-peristiwa tersebut memiliki hubungan sebab akibat, namun peristiwa-peristiwa tersebut bisa saja berdiri sendiri dengan sudut pandang yang berbeda walaupun obyek pelaku maupun subyeknya sama. Dalam contoh di atas, jelas terdapat 2 peristiwa yang bisa berdiri sendiri, yaitu ; 1) Peristiwa tumbangnya pohon yang disebabkan oleh angin ribut. 2) Peristiwa tewasnya sang Presiden. Bila yang dibahas adalah peristiwa pertama, maka yang menjadi secunder scope adalah kematian sang presiden sebagai akibat dari tumbangnya pohon. Sebaliknya yang dibahas dalam sejarah adalah peristiwa yang kedua, maka tumbangnya pohon merupakan secunder scope yang merupakan penyebabnya.

Jadi menurut sejarah sebagai ilmu pengetahuan, telah ditetapkan bahwa tidak semua peristiwa pada masa lampau bisa dikategorikan sebagai “Sejarah”. Memang, sangat kontradiktif dengan pengertian sejarah secara harafiah seperti dijelskan sebelumnya.

Dalam aspek “Historiografi”, penulisan sejarah manusia dibagi menurut pembabakan (periodesasi), misalnya; penulisan tentang sejarah bangsa Indonesia yang dibagi atas; jaman pra-Sejarah, Jaman Kerajaan Hindu, Jaman Kerajaan Islam, Jaman penjajahan bangsa barat, Jaman Jepang, Jaman Kemerdekan, Jaman Orde Lama, Jaman Orde Baru dan Jaman Reformasi.

Periodesasi sejarah seperti ini didasarkan pada sudut pandang masing-masing sejarawan terhadap lingkup dan obyek yang menjadi sasaran bahasan. Sasaran ilmu sejarah menyangkut data tertulis dan fakta lapangan. Obyek dan fakta yang terjadi pada masa lampau sebelum ditemukannya data tertulis (tulisan) di suatu tempat disebut dengan istilah jaman pra-sejarah, sedangkan masa sesudah ditemukannya data tertulis dikenal dengan jaman sejarah.

Sejarah juga bisa diibaratkan dengan “siaran berita”, dimana data dan fakta lapangan dipaketkan sedemikian rupa sehingga sifatnya informatif. Sejarah dan siaran berita sama-sama menjawab pertanyaan; Apa ? Siapa ? Kapan ? Bagaimana ? dan sebagainya. Penyampaian esensi informasinya juga masih menggunakan analisa dan tafsiran subyek terhadap obyek karena faktanya tidak bisa berbicara sendiri. Hal ini tidak berlaku terhadap data dokumen asli sebelum ditafsirkan oleh subyek (penyampai) ke dalam bentuk paket informasi yang akan disampaikan.

Ditinjau dari aspek ilmu, sejarah juga identik dengan “Filsafat” tapi sejarah bukan filsafat walaupun keduanya dimulai dengan “bertanya”. Seperti halnya siaran berita, sejarah dan filsafat juga sama-sama berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Sama-sama menggunakan Hukum Kausalitas. Perbedaan esensial antara sejarah dan filsafat terletak pada metode dan pendekatan yang digunakan.

Semakin kritisnya masyarakat modern saat ini terhadap hasil penulisan (sejarah) menimbulkan pertanyaan, misalnya; Apakah sejarah tidak pernah berdusta ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memisahkan terlebih dahulu antara esensi peristiwa (kejadian masa lalu) yang berdiri sendiri dan bersifat obyektif dengan hasil penulisan (rekontruksi sejarah) dari sejarawan yang bersifat subyektif. Sumber sejarah yang dihimpun, baik berbentuk dokumen (tulisan), gambar, hikayat, ceritera dan lain sebagainya bila direkonstruksikan menjadi sebuah sejarah tertulis tidak terlepas dari masalah subyektifitas. Di sini dikenal adanya “subyektifitas” dan “obyektifitas” dalam ilmu sejarah.

Sebagai ilustrasi, kita ambil contoh misalnya tokoh Sultan Babullah di Ternate pada pertengahan abad ke-16 yang oleh sejarawan Belanda (Penulisan Eropa Centris) tokoh ini disebut sebagai seorang “Pemberontak” terhadap usaha monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku waktu itu. Sedangkan dalam sejarah Indonesia (Penulisan Indonesia Centris) ia disebut sebagai seorang “Pejuang” atau “Pahlawan” yang berani dan sanggup mengusir penjajah yang mengeruk kekayaan di tanah leluhurnya. Kedua hasil rekontruksi sejarah tersebut berbeda, tapi benar bagi masing-masing pihak. Padahal tokoh sebagai obyek pelaku sejarah adalah itu juga dan peristiwanya-pun itu-itu juga, namun keterangan dan makna peristiwa yang dijelaskan sudah berbeda.

Contoh lain misalnya sejarah di Belanda menyatakan Bangsa Jepang adalah penjahat dalam perang, dan sejarah di Jepang menyatakan Belanda-lah yang disebut penjahat karena menjajah bangsa lain selama ratusan tahun. Sedangkan sejarah Indonesia mempermaklumkan bahwa keduanya “sama saja”. Mereka adalah sama-sama imperialis dan sama-sama penjajah. Dari sini kita melihat adanya subyektifitas dan sejarah.

Bertolak pada pemikiran tersebut, maka pertanyaan segera timbul; Mengapa terdapat dua sejarah atau lebih yang berbeda terhadap suatu kejadian yang sama ? Kalau ditinjau dari segi filsafat, perbedaan itu sengan sendirinya pasti ada. Rekonstruksi sejarah atau hasil penulisan sejarah adalah bikinan manusia. Pikiran manusia-lah yang membuat sejarah. Karena pikiran manusia tidak sama, maka tidak sama pula hasilnya. Jadi penulisan sejarah berbeda menurut “ruang” dan “waktu”.

Sejarah direkonstruksi oleh manusia berdasarkan fakta lapangan. Manusia di sini adalah subyek, sedangkan fakta kejadian adalah obyek. Bagaimanapun obyektifitas diusahakan, obyektifitas itu tenggelam dalam ke-subjektif-an, sebab untuk menjadikan fakta sebagai sejarah, obyek itu harus ditafsir oleh subyek. Tanpa penafsiran subyek, maka fakta tersebut akan menjadi “psudo sejarah”. Obyek dan fakta ingin memberikan gambaran tentang dirinya tidak hanya berbicara sendiri melainkan subyeklah yang lebih banyak mendapat kesempatan untuk berbicara. Sebagai ilmu, “sejarah” haruslah obyektif, tapi subyektifitas-lah yang banyak berbicara.

Masyarakat dalam menghadapi keragaman penafsiran tentang suatu kejadian di masa lalu (fakta sejarah) apalagi diantaranya saling kontradiktif, akhirnya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, misalnya; Dalam keragaman tersebut manakah yang paling benar ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh ahli sejarah Enno van Gelder bahwa sejarah yang benar adalah sejarah terkini (modern). Selanjutnya dikatakan bahwa sejarah yang ditulis oleh subyek pada masa berlakunya peristiwa tidak dipisahkan dari unsur subyektifitas yang sifatnya empiris. Totalitas kebenaran sejarah harus dilihat secara menyeluruh.

Jika kedudukan subyek di berada di luar ataupun berada di dalam kurun waktu kejadian tersebut menganalisa secara jujur tentang data dan fakta tersebut berdasarkan metode pembuktian sejarah, maka hasilnya-pun berbeda pula. Jika sejarah ditulis tanpa kesadaran dan tanpa usaha se-obyektif mungkin, maka yang terjadi adalah; pendustaan terhadap sejarah.

Pada era teknologi informasi seperti sekarang ini, sumber tertulis serta dokumentasi elektronik maupun digital yang suatu saat nanti akan menjadi sumber sejarah sangatlah banyak kita jumpai. Data sumber dari media ini nanti menjadi sejarah dan dijelaskan oleh subyek yang akan merekonstruksinya dengan menggunakan bahasa tafsiran. Sementara kebenaran fakta kejadiannya yang berdiri sendiri kadang dibungkam oleh gaya dan pola rekonstruksi. Meskipun ada, namun minim sekali. Seandainya fakta kejadian itu bisa menjelaskan kembali dengan bahasa manusia, maka tidak akan pernah ada sejarah yang keliru.

Dalam kontek ini, realitas yang terjadi di dalam penulisan sejarah Indonesia saat ini sudah mulai dipersoalkan ke-obyektifan-nya, terutama sejarah Indonesia seputar suksesi kepemimpinan dari Presiden Sukarno kepada Presiden Suharto (persoalan Surat Perintah 11 Maret). Selain itu penulisan sejarah Indonesia yang dikomandoi oleh almarhum Prof. DR. Nugroho Noto Susanto seputar peristiwa tersebut beserta peristiwa terkait dengannya serta sejarah perjalanan bangsa Indonesia sesudah itu hingga sampai era tahun 1990-an yang ditulis dalam buku sejarah untuk SD, SMTP dan SMU dinilai dilakukan tanpa usaha seobyektif mungkin dan terlihat sangat subyektif karena dipengaruhi oleh kekuasaan. Hal ini dapat kita sebut sebagai; manipulasi sejarah.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa; peristiwa yang terjadi masa lalu menjadi sejarah pada hari ini, lalu kejadian pada hari ini dikemudian hari akan menjadi sejarah dan peristiwa pada masa yang akan datang akan menjadi sejarah bagi generasi sesudahnya. Dimensi sejarah mengajari kita bahwa; dengan mengerti dan mengetahui masa lampau, orang dapat memahami keadaan masa kini. Dengan memahami keadaan masa kini orang dapat merencanakan apa yang akan dilakukan nanti pada masa yang akan datang.

Oleh karena itu sebagai manusia Indonesia yang bijak, siapapun (penulis) yang hendak menyampaikan suatu fakta pada masa yang sudah dilewati haruslah berbuat adil dan “obyektif” karena suatu saat nanti, masyarakat akan memahami kebenarannya melalui pembuktian sejarah.

Blog tentang “Tradisi dan budaya orang Ternate” yang penulis buat ini adalah salah satu bentuk upaya untuk merekonstruksi “kearifan lokal” yang ada di Maluku Utara pada masa lampau dan masih diwarisi hingga saat ini agar para pembaca dapat mengetahui, mengenal dan memahami bagaimana dinamika sosial masyarakat di Ternate. Penulis selaku Admin sudah berupaya menyampaikan setiap penulisan se-obyektif mungkin, walaupun mungkin ada visitor yang menganggap masih ada sedikit “primordialisme” yang ikut terbawa. Tidak apa-apa, itu hal yang wajar dan manusiawi.

Sejarah...! Bagaimanapun dipungkiri, ia akan tetap menjadi “SEJARAH”. Sejarah bila ditulis di atas air laut pasti akan terasa asin, bila di buat di dalam apotik pasti berbau obat dan bila disampaikan melalui bahasa kamus pasti dipahami melalui terjemahan. Sejarah ibarat zat cair yang bisa berbentuk apa saja yang menampungnya. Biarlah “mereka” generasi nanti yang akan menilai mana yang hitam dan mana yang putih. Kebenaran yang sejati akan terjawab melalui pembuktian sejarah.

Memang, sejarah tidak pernah berdusta,......!


(Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Opini pada Tabloid “PARADA” di Ternate, Edisi ke-6 tanggal 3 Juni 2002)

Baca selengkapnya......

Memahami Falsafah Adat Orang Ternate  

Posted

(By : Busranto Abdullatif Doa)

A. FILOSOFI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Menurut pandangan orang Ternate tempo dulu, awal mula kehidupan dimulai dari dua sosok manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, yang terhimpun dalam sebuah rumah tangga dan membuahkan keluarga lalu meningkat pada keluarga besar yang disebut “Marga” dan berlanjut ke “Suku” dan lebih besar lagi adalah berwujud sebuah ”Bangsa”.
Dari kedua orang laki-laki dan perempuan inilah lahirnya sebuah masyarakat, maka dalam pandangan orang Ternate, sosok laki-laki dan perempuan yang sangat utama itu merupakan awal dari suatu kehidupan sehingga laki-laki dan perempuan tersebut menjadi perlambang utama dalam pandangan masyarakat adat di Ternate.

Menurut legenda setempat, awal mula terbentuknya kesatuan masyarakat di Ternate oleh dua kelompok marga, yaitu ; “Tobona” dan “Tabanga”. Tobona merupakan akumulasi dari keberadaan dua klan yaitu Tubo dan Tabanga itu sendiri, sedangkan Tabanga merupakan akumulasi dari keberadaan klan Toboleu dan Tabanga itu sendiri. Marga Tobona disebut dengan nama “Cim” (perempuan), sedangkan marga Tabanga disebut dengan nama “Heku” (laki-laki).

Kedua marga ini kemudian berkembang menjadi lebih besar dan serta-merta melahirkan dan beranak pinak kemudian terbentuk kesatuan masyarakat yang luas dengan penguasa berbentuk kerajaan atau dalam bahasa setempat disebut “Buldan”. Maka sebagai pertanda untuk itu, lambang kerajaan Ternate berupa burung elang yang berkepala dua, yang dikenal dengan “Goheba ma-Dopolo Romdidi”.

Burung elang darat, yang dalam bahasa Ternate disebut “Wuru” ialah lambang untuk kelompok Cim (perempuan) sedangkan burung elang laut, yang dalam bahasa Ternate disebut “Goheba sering juga dilafalkan Kuheba” ialah lambang untuk kelompok Heku (laki-laki). Heku dan Cim terpancang dengan lambang burung elang yang berkepala dua yang dipakai sebagai “Lambang Kerajaan”. Lambang yang mengandung makna filosofis ini dituangkan dalam berbagai sarana kehidupan adat, yang menggunakan makna laki-laki dan perempuan.

Sebagai contoh nyata yang masih ada hingga saat ini, yang dituangkan dalam sarana kehidupan adat dengan menggunakan makna laki-laki dan perempuan adalah ;

1. Dalam membangun sebuah rumah, akan terdapat dua balok panjang bagian atas rumah yang disebut “Dalul se Hate Gila” yaitu kayu laki-laki dan kayu perempuan.

2. Pada setiap perahu yang menggunakan layar, akan terdapat dua buah tali penahan layar yang disebut “Gumi Nonau se Buheka” yaitu tali laki-laki dan tali perempuan. Gumi Nonau adalah tali penahan layar bagian atas dengan kedudukannya terikat dan tetap pada tempatnya sedangkan Gumi Buheka adalah tali penahan layar bagi bawah yang tidak terikat dan hanya dipegang untuk menjaga keseimbangan layar bila ditiup angin.

3. Pada suguhan makanan adat :


a). Jaha atau Pali-pali, adalah sejenis nasi yang dimasak di dalam seruas bambu atau dibungkus dengan daun rumbia (daun pohon sagu) yang dibentuk memanjang kurang lebih 40 cm dengan garis tengah 3 cm sebanyak sepuluh potong yang terletak dan terakit di atas sebuah piring/wadah menyerupai perahu, perlambang laut (Heku/laki-laki)

b). Dada (Kukusan) adalah nasi tumpeng yang diletakan di atas sebuah piring dan dibentuk menyerupai sebuah gunung, perlambang daratan (Cim/perempuan).

c). Ikan (perlambang perempuan) dan terong (perlambang laki-laki) yang diberi saus terletak dalam sebuah piring putih.

4. Suguhan Sirih dan Pinang dalam acara peminangan, sirih perlambang laki-laki dan pinang perlambang perempuan. Saat peminangan, bila terjadi kesepakatan kedua belah pihak maka suguhan sirih dan pinang diterima dengan cara mengunyah dengan kapur putih sehingga sari kunyahan menjadi merah. Warna ini mengandung makna bahwa si laki-laki dan si perempuan menyatu dalam sebuah rumah tangga yang diawali dengan tanda sebuah “kegadisan” pada malam pengantin.

5. Pada ungkapan dari salah satu bentuk sastra lisan Ternate, yakni “Bubaso se Rasai”. Bubaso berarti ungkapan perasaan laki-laki sedangkan Rasai merupakan ungkapan perasaan perempuan.


B. FALSAFAH ADAT ORANG TERNATE (7 Nilai Dasar)

Tata kehidupan dengan aturan lisan yang mengikat komunitas orang Ternate dalam konteks “Masyarakat Adat” bersumber dari Tujuh Nilai Dasar Falsafah Adat yang berlaku. Falsafah adat ini merupakan warisan nenek moyang. Tujuh Nilai Dasar Falsafah Adat Ternate ini merupakan implementasi dari akar budaya asli orang Ternate itu sendiri, yaitu; “Adat Matoto Agama, Majojoko Toma Kitabullah se Sunnah Rasul”. (Adat bersendikan agama, Agama bersumber dari Kitabullqh dan Sunnah Rasullulah, dia atas Rasulullah”.

Tujuh Nilai Dasar Falsafah Adat orang Ternate adalah merupakan warisan dari para leluhur yang dalam bahasa daerah Ternate disebut “Kie se Gam Magogugu Matiti Tomdi”, terdiri dari :

1. ADAT SE ATORANG
Hukum dasar yang yang disusun dan disepakati bersama berdasarkan ajaran hakiki harus dipatuhi dan dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Artinya adat yang bersendikan aturan itu merupakan Aturan bersumber dari Kitabulah dan Sunnah Rasul yang disesuaikan dengan kebiasaan keseharian.

2. ISTIADAT SE KABASARANG
Lembaga adat yang dalam hal ini Kesultanan dengan kekuasaannya menurut ketentuan adat yang berlaku menurut adat seatorang diatas harus dijunjung tinggi sebagaimana menjaga martabat orang Ternate.

3. GALIB SE LIKUDI
Kebiasan lama yang menjadi pegangan dasar, diatur menurut sendi ketentuan yang dilazimkan dalam masyarakat dan disesuaikan dengan jaman tanpa ada pertentangan. Namun jika ada pertentangan maka akan dilakukan perbaikan dengan tetap berpijak pada Adat se Atorang.

4. CING SE CINGARE
Ketentuan pengaturan tentang gender, yakni perempuan dan lelakinya. Artinya setiap individu maupun pasangan pria dan wanita merupakan kesatuan yang utuh dengan hak dan kewajiban masing-masing perlu dibina dan dijaga kelestariannya karena orang Ternate selalu memaknai filosofi laki-laki dan perempuan seperti yang dijelaskan di atas.

5. NGALE SE CARA/DUKU
Bentuk budaya masing-masing suku bangsa dapat digunakan secara bersama-sama dalam keberagaman sesuai dengan keinginan untuk mempertahankan keutuhan dalam perbedaan. (Bhineka Tunghal Ika)

6. SERE SE DUNIRU
Tata kehidupan seni dan budaya dan kebiasaan yang timbul dalam pergaulan masyarakat diterima secara bersama-sama.

7. BOBASO SE RASAI.


………Bersambung………..

Baca selengkapnya......

Bentuk Perkawinan Adat di Ternate  

Posted

(By : Busranto Abdullatif Doa)

Perkawinan Adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat tertentu yang mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu perkawinan baik secara seremonial maupun ritual menurut Hukum Adat setempat.

Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :

1. LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI (=Meminang/Kawin Minta)
2. WOSA SUBA (=Kawin Sembah)
3. SICOHO (=Kawin Tangkap)
4. KOFU’U (=Dijodohkan)
5. MASIBIRI (=Kawin Lari)
6. NGALI NGASU (=Ganti Tiang)

Tulisan ini merupakan sinopsis dari sebagian pembahasan dalam Skripsi Penulis di tahun 1994 dalam menempuh ujian Strata Satu pada Program Studi Sejarah IKIP Negeri Manado.

A. MEMINANG / KAWIN MINTA (=Lahi se Tafo atau Wosa Lahi)

Lahi se Tafo atau meminang merupakan bentuk perkawinan adat yang sangat populer dan dianggap paling ideal bagi masyarakat setempat, karena selain berlaku dengan cara terhormat yakni dengan perencanaan yang telah diatur secara matang dan didahului dengan meminang juga karena dilakukan karena dilakukan menuruti ketentuan yang berlaku umum di masyarakat dan juga dianggap paling sah menurut Hukum Adat.

Pelaksanaan rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara ; Makan Adat, Saro-Saro, Joko Kaha (Lihat Artikel sebelumnya), dan disertai dengan acara-acara seremonial lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang bahwa semakin megah dan meriah pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, maka status/strata sosial dalam masyarakat bisa terangkat.

B. KAWIN SEMBAH (=Wosa Suba)

Bentuk perkawinan Wosa suba ini sebenanrnya merupakan suatu bentuk penyimpangan dari tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan terlebih dahulu membayar/melunasi denda yang disebut “Bobango”. Perkawinan ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara meminang/wosa lahi sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena faktor mas-kawin ataupun ongkos perkawinan yang sangat mahal dsb.

Perkawinan bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni :

1. Toma Dudu Wosa Ino, Artinya dari luar (rumah) masuk ke dalam untuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis, dengan tujuan agar dikawinkan.

2. Toma Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan.

3. Toma Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.

Bentuk perkawinan “Wosa Suba” ini sudah jarang dilakukan oleh muda-mudi Ternate saat ini karena mereka menganggap cara yang ditempuh dalam bentuk perkawinan ini kurang terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak laki-laki.

C. KAWIN TANGKAP (=Sicoho)

Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas norma susila.

Dalam kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda walaupun dalam keadaan tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat secara islam yang berlaku pada masyarakat Ternate.

Perkawinan bentuk ini dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga si gadis dan membayar denda (Bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan ini masih sering ditemui di Ternate.

D. DIJODOHKAN (=Kofu’u)

Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka.

Bentuk perkawinan dijodohkan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, hanya saja perbedaan yang paling prinsipil adalah; Kalau di Ternate, terjadi antara anak-anak yang bapaknya bersaudara dekat/jauh atau ibunya bersaudara dekat/jauh. Kebanyakan bentuk perkawinan ini tidak disetujui oleh anak muda jaman sekarang sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk “Masibiri” atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang terjadi dalam masyarakat Ternate.

E. KAWIN LARI (=Masibiri)

Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok soa yang tidak boleh kawin-mawin.

Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin Cowboy”.

Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam.

Biasanya yang bertindak sebagai wali adalah “Wali Hakim Syari’at”. Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah petugas/pejabat nikah (Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri pejabat Haki Syari’at tersebut dan diperkenankan untuk mtinggal beberapa hari. Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di rumahnya. Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali dan pelaksanaan perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari’at untuk mengurusnya.

Bentuk perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih banyak ditempuh oleh anak muda Ternate yang mengambil jalan pintas untuk berumah tangga bila tidak direstui oleh orang tuanya.

F. GANTI TIANG (=Ngali Ngasu)

Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau suaminya meninggal duni maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si siteri atau kakak atau adik dari si suami suami.

Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain.

Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate.
(@ busranto.blogspot.com)

Baca selengkapnya......

"Legu-Legu", Tarian Klasik Keraton Ternate  

Posted

(By : Busranto Abdullatif Doa)

Ciri utama dari kesenian tradisional orang Ternate adalah bentuk seni konvensional. Berdasarkan ciri-cirinya, kesenian tradisional di Ternate dibagi atas dua kelompok, yaitu : Kesenian Istana/Keraton (Hofkunst) dan Kesenian Rakyat (Volkskunst).

Kesenian Istana adalah kelompok kesenian yang dicipta ataupun dibina, dikembangkan oleh dan untuk kalangan keraton kesultanan. Umumnya merupakan kelengkapan adat yang bersifat ritual maupun seremonial. Sedangkan Kesenian Rakyat yaitu kelompok kesenian yang dicipta, dibina dan dikembangkan oleh dan untuk kalangan masyarakat umum. Kesenian istana telah ada sejak jaman pra-Islam, yakni dalam bentuk seni tari dan seni suara. Di Ternate, perpaduan dari kedua bentuk seni ini terwujud dalam sebuah tarian klasik yang bersifat ritual, yaitu “Legu-Legu”.

Pentas Legu-Legu di Halaman Pendopo, Photo by Busranto

Tarian Legu-Legu hanya terdapat dan hanya dipentaskan di lingkungan Keraton Ternate saja. Tarian ini bukan merupakan tarian tunggal yang hanya dibawakan oleh 1 orang penari melainkan dilakukan oleh lebih dari 5 0rang, bahkan bisa sampai 25 orang secara serentak. Para penari yang terdiri dari gadis-gadis muda harus yang masih perwan/belum menikah. Ketentuan ini mengandung makna bahwa Legu-Legu mempunyai sifat sakral. Para penari merupakan medium yang masih suci. Kadang ada satu atau lebih penari yang melakukannya gerakan, tidak dalam keadaan sadar/kemasukan roh nenek moyang. Tarian legu-Legu ini hanya dipentaskan pada saat-saat tertentu dengan pertimbangan utamanya harus bersifat ritual dan mempunyai keterkaitan dengan adat keramat keraton.

Yang unik dari tarian klasik milik keraton kesultanan Ternate ini adalah bahwa para penari yang membawakannya hanya boleh berasal dari keturunan Soa/Marga “Soangare” atau “Soa Ngongare” saja. Soangare merupakan salah satu klan dari kelompok kekerabatan khas Ternate yang walaupun secara genalogis bukan keturunan sultan namun klan ini sangat dekat di kalangan istana karena marga Soangare sejak dahulu merupakan salah satu marga yang menjadi “Abdi Dalem” yang sangat setia di keraton kesultanan Ternate.

Tarian Legu-Legu ini biasanya disebut juga dengan sebutan “Legu Kadato”, untuk membedakan dengan Istilah Legu Gam (Perayaan tahunan Pesta Adat/Pesta Negeri). Tarian ini dibawakan sambil diiringi dengan orkes tabuh khas daerah Maluku yang terdiri atas; Dua buah Tifa kecil, sebuah Gong tembaga dan didampingi dua orang penyanyi wanita setengah baya. Biasanya lirik yang dinyanyikan berasal dari syair-syair kuno berbahasa Ternate yang dikutip dari sastra lisan Ternate, yaitu Dorobololo, Dalil Tifa dan Dalil Moro. (lihat artikel terkait sebelumnya)

Para gadis penari Legu-Legu memainkan gerakan tarian ini dengan pola melingkar (Round Dances) dengan komposisi gerakan tari yang sangat rumit. Temponya lambat dan biasanya memakan waktu lebih dari 1 jam untuk menyelesaikannya. Legu-Legu yang fungsinya sebagai tarian ritual yang sakral, maupun dalam komposisi tarian dan penarinya, mengingatkan kita pada Tari Bedoyo Ketawang dari keraton Kasunan Surakarta dan Tari Bedoyo Semang di keraton kesultanan Yogyakarta yang sudah terkenal di manca negara.

Gerakan dalam tarian Legu-Legu lebih mengutamakan gerak tangan yang memainkan selendang yang biasanya merah-kuning (merah=kanan, kuning=kiri) yang terikat di pinggang penari dan juga mengutamakan gerakan tumit. Tarian ini juga menggunakan sebuah kipas lipat yang kadang digunakan dalam gerak tari. Bila sedang tidak digunakan atau melakukan gerakan lain, maka kipas lipat tadi diselipkan di dalam ikat pinggang si penari. Tarian ini sama sekali tidak menggunakan gerakan pinggul atau gerakan kepala.

Gadis penari tarian ini menggunakan semacam ikat kepala berwarna kuning keemasan berbentuk mahkota/tiara di bagian depan dan semacam sayap kecil di bagian kiri-kanan di atas telinga serta berbentuk ekor di bagian belakang kepala. Ikat kepala ini berhiaskan manik-manik dan permata yang digantungkan. Hampir seluruh tubuh mereka ditutupi dengan busana yang berwarna kuning, ditambah semacam selendang yang diikatkan di bagian pinggang, dilengkapi ikat pinggang berwarna dengan hiasan bermotif bunga-bunga kecil.

Baju yang mereka gunakan berbentuk baju kurung yang berlengan panjang dan dipadukan dengan rok panjang sampai ke tumit kaki dengan sebuah kipas lipat yang disisipkan dalam ikat pinggang. Pada bagian pergelangan tangan diikat dengan semacam bingkai berwarna merah. Sedangkan pada bagian leher baju kurung berhiaskan sulaman manik-manik.

Tarian Legu-Legu merupakan satu-satunya tarian ritual dalam istana kesultanan Ternate. Menurut sumber dari pihak keraton kesultanan Ternate, sebenarnya ada 12 macam atau variasi dari tarian ini dengan 12 lagu untuk masing-masing jenis. Namun saat ini yang dipentaskan hanya beberapa jenis Legu-Legu saja misalnya; Akilindo, Bombaka dan Dansapele.

Pada masa kini, tarian Legu-Legu yang sakral ini hanya dipertunjukan dalam rangka upacara kebesaran adat keraton Ternate, yaitu pada saat Upacara Penobatan Sultan (yang disebut Sinonako Jou Kolano), Pengesahan/Penetapan istri Sultan sebagai “Permaisuri” (yang disebut Sinonako Jou ma-Boki), Ulang Tahun Sultan, Penyambutan tamu agung di keraton. Akhir-akhir ini sering dipertunjukan dalam kegiatan rutin 2 tahunan yaitu pada setiap perhelatan Festival Keraton se-Nusantara yang pelaksanaannya berpindah-pindah tempat di setiap keraton dari anggota Festival tersebut. (@)

Legu-Legu Dancer (1870) Photo by Buwalda

Baca selengkapnya......

Mengenal Sastera Lisan Ternate  

Posted

(By : Busranto Abdullatif Doa)

Pada umumnya setiap bahasa manapun di muka bumi ini terbagi atas bahasa lisan dan bahasa tulisan. Dalam kesusasteraan juga dibagi atas sastra lisan dan sastra tertulis. Di Ternate, sastra tertulis jarang dijumpai. Hal ini dikarenakan bahasa Ternate tidak mempunyai huruf (aksara) sendiri.

Kesusasteraan di Ternate sebenarnya sudah ada sejak jaman pra-Islam, dengan pengertian bahwa masih belum merupakan sastera tertulis melainkan berbentuk sastera lisan. Sastra lisan di Ternate ini biasanya dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga saat ini. Dalam perkembangannya seiring dengan perkembangan agama Islam di daerah ini, maka sastera lisan Ternate kemudian ditulis dengan menggunakan aksara Arab.

Seirama dengan perkembangan bahasa Ternate dan Melayu menjadi Lingua Franca di Maluku Utara, maka sastera lisan Ternate pun kemudian menjadi milik masyarakat setempat, sehingga tidaklah mengherankan apabila sastera lisan ini juga mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa lokal serta bahasa Melayu, Arab, Jawa, dll.

Sastera lisan Ternate dijadikan syair dalam nyanyian kesenian daerah (seni suara) yang biasanya dilantunkan oleh seorang biduan atau biduawanita untuk mengiringi tarian adat. Ada pula yang hanya dideklamasikan baik dalam bentuk monolog maupun dalam bentuk dialog.

Berdasarkan bentuk dan jenis-nya, sastera lisan Ternate terbagi atas :

· DALIL TIFA
· DALIL MORO
· DOLABOLOLO
· PANTUN
· RORASA
· BOBASO se RASAI
· TAMSIL
· CUM-CUM
· MANTRA
· JARITA

Berdasarkan penyajian (melalui seni suara dan tarian), maka sastera lisan Ternate terbagi atas :

· MORO-MORO se SALUMA
· ANA KONA SIO YAARA
· LEGU
· TOGAL
· LALA / LALAYON

BENTUK DAN JENIS

Sebagaimana halnya dengan kesusasteraan Indonesia yang beragam bentuknya, kesusasteraan lisan Ternate juga kita jumpai beragam bentuk dan jenisnya. Bila ditinjau dari aspek bentuk dan jenis serta isi syairnya, maka sastera lisan Ternate dapat digolongkan menurut kurun waktu, yakni periode pra-Islam dan periode sesudah masuknya agama Islam.

Dalam sastera lisan Ternate dikenal juga bentuk puisi, prosa lirik, dan prosa yang diungkapkan secara singkat dan sederhana. Bentuk dan jenis sastera lisan Ternate terdiri dari :

1. Dalil Tifa. (Bernilai Religius)

Dalil Tifa berbentuk peribahasa yang merupakan pernyataan pendapat umum (warisan leluhur) yang bersifat petunjuk dan nasihat yang diungkapkan dalam bentuk dalil. Isi yang terkandung di dalamnya kebanyakan bernafaskan dalil yang bersifat keagamaan (nilai religius). Pengertiannya diidentikkan dengan tifa (beduk) di mesjid/langgar yang selalu ditalu setiap saat untuk mengingatkan orang mentaati perintah panggilan agama (sholat).

Dalil Tifa sangat digemari oleh orang tua. Dalam percakapan dan nasihat serta wejangan kepada yang muda-muda mereka selalu manggunakan Dalil Tifa ini, karena mempersoalkan masalah: kejadian manusia, datangnya maut, dan kehidupan di alam akhirat. Penyampaiannya kebanyakan oleh orang tua pada waktu mereka melaksanakan pertemuan. Dalil Tifa ini juga dapat didendangkan oleh biduan atau biduanita yang mahir melakukannya.

Contoh : Dalil Tifa

Firman se sabda i sinyata-nyata
Dalil se hadist i siguci ngale
Aki kama obo uwa i sinyafo ka’ahe bato
Gugu Jou nga susudo sigou-gou
Padi Jou nga laranga i ma waro gudu
Nga yakin tike untung toma gam akhirat

Terjemahannya :

Firman dan sabda sudah sangat jelas
Dalil dan hadist diterjemahkan artinya
Lidah tidak bertulang sangatlah ringan
Berpeganglah pada perintah Allah dengan sngguh-sungguh
Buanglah larangannya sejauh mungkin
Dan yakinlah keberuntungan nanti di alam akhirat

Haeran joro tuada
Sofo kama bunga uwa
Haeran joro gambi
Bunga kama sofo uwa

Terjemahan :

Duhai tanaman cempedak
Berbuah tapi tak berbunga
Duhai bunga gambir
Berbunga tapi tak berbuah

Tauhid se ma’arifat ge i mura uwa
I sinyemo aku uwa ma dehe bato
Tamsil haka sonyinga la sigiha nga nyinga
Tamsil ena nee i siade-ade
Tada ngau ni sigise ka ni gugise
Fela lako la ni mina ka ni momina

Terjemahannya :

Tauhid dan ma’arifat itu tidaklah mudah
Tidak akan diberi tahu hanya ujungnya saja
Tamsil memperingatkan supaya simpan di hati
Tamsil sebagai amsal dan ibarat
Pasang telingamu supaya kamu bisa mendengar
Buka matamu supaya kamu bisa melihat

2. Dalil Moro. (Bernilai Nasihat Kehidupan Duniawi)

Sebagaimana Dalil Tifa, Dalil Moro ialah bentuk puisi sastera lama yang dalam peribahasanya mengungkapkan perumpamaan yang berbentuk dalil sebagai contoh untuk ditiru yang merupakan warisan nenek moyang yang telah merasuk dan dihayati, hingga patut ditaati.

Isi dan pengertian syairnya Dalil Moro adalah tentang hakikat kehidupan manusia, bahwa setiap individu masyarakat dituntut dapat menempatkan dirinya dalam masyarakat serta mampu menciptakan suasana keragaman yang dapat menjalin ikatan antara sesama manusia dalam hubungan kekeluargaan sampai ke dalam kelompok yang besar, masyarakat, tapi jangan terbawa oleh situasi yang menggiring ke arah yang tak menentu, terombang-ambing oleh keadaannya.

Penyampaiannya Dalil Moro biasanya melalui percakapan, terutama kalangan orang tua, hal ini sekarang sudah jarang dilakukan. Dalam bentuk nyanyian, seorang biduan atau biduanita yang mahir mendendangkannya. Waktu dan tempat tergantung pada penyair itu sendiri.

Contoh : Transkripsi Dalil Moro

Ino fo ma kati nyinga
Doka gosora se buwalawa
Om doro yo ma mote
Fo ma gororu fo ma dudara


Terjemahan :

Man kita bertimbang rasa
Seperti pala dengan fuli
Matang di pohon dan bersama
Dilandasi kasib dan sayang

Afa doka kamo-kamo
Isa mote hoko mote
Ma dodogu ogo uwa
Tego toma ngawa-ngawa


Terjemahan :

Janganlah seperti iringan awan
Ke barat ikut ke timurpun ikut
Tak tentu tempat berhenti
Terkatung-katung di antara langit

Lobi dai lofo uci
Ma nunako sosoramo
Pasi dai jaha-jaha
Fo nunako rai marua

Terjemahan :

Kelam di timur hendak menurun
Ditandai gumpalan awan berkabut
Lautan luas penuh ikannya
Tentu kita sudah mengenalinya

Kano-kano ri ngongano
Kusu-kusu to busu marua
Jela-jela to sisela
Loloro no roro fodi

Terjemahan :

Tanaman kano-kano yang kuharapkan
Alang-alang tak kusukai lagi
Jela-jela kusisipkan
BukanSemak loloro yang tumbuh terlalu lama

Goraci aku to tike
Jou malo fo binasa
Hira goraci aku to tike
Jou malo dadi badang binasa


Terjemahan :

Emas bisa kucari
Tak ada Tuhan kita binasa
Hilang emas bisa kucari
Bila tak ada Tuhan tentu kita tak ada

Ino fi ma oki mayang
Ma oki mayang non toma titi ino
Giki uwa ngone bato
Fo maku gasa ira afa

Terjemahan :

Mari kita berpadu hati
Berpadu hati seperti mayang sejak dahulu
Jikalau orang lain tidak, tentulah kita
Janganlah kita hidup bermusuhan

Ngone doka dai loko
Ahu yo ma fara-fara
Si rubu-rubu yo ma moi-moi
Doka saya rako moi

Terjemahan :

Kita bagaikan kembang di padang rumput
Tumbuh dan hidup terpencar-pencar
Terhimpun dalam satu genggaman
Bagaikan hiasan seikat kembang

3. Dola Bololo / Dorobololo.

Dola Bololo atau Dorobololo adalah sepotong ungkapan yang terdiri dari dua bait, pernyataan perasaan dan pendapat seseorang dalam bentuk sindiran dan tamsilan, merupakan ciri kebijakan seseorang dalam masyarakat untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya melalui peribahasa kepada seseorang atau temannya agar kawannya dapat memahami dan menanggapi maksud serta tidak merasa tersinggung dengan kehalusan tutur bahasa sindiran yang kita gunakan.

Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Dola Balolo lebih berkesan, berbahasa halus dan sopan, sindiran tak langsung serta mudah dihayati, dipahami maksud dan pendapat seseorang. Dola Balolo disampaikan kebanyakan melalui percakapan antara dua orang atau lebih, di mana saja tempat dan waktu bila bertemu terutama dalam memberikan nasihat dan wejangan / ceramah.

Contoh : Transkripsi Dola Balolo

Fala to mataka-taka
Dego-dego to ruraka
Terjemahan :
Rumah yang aku tak biasa
Ku malu menduduki kursinya

Ha ufo ma taipasi
Moro-moro fo maku ise

Terjemahan :
Memancing ikan di tempat berbeda
Suara dendangan saling mendengar

Sagadi no ngolo-ngolo
Bara lou maginyau

Terjemahan :
Bercerai berai dalam usaha
Bersepakat dengan nasihat moyang

Fira mo si saya gam
Adat yo ma hisa hira
Terjemahan :
Gadis ialah kembang negeri
Adanya abang pagar pelindung

Fira mina mi gogola
Ma rorano hira i nyinga

Terjemahan :
Sakitnya si gadis itu
Kasih si abang saja obatnya

Dara to lefo mapila
Soro gudu to nonako
Terjemahan :
Burung merpati kusayat sayapnya
Terbang jauh pasti ku kenali

Gudu moju si to suba
Rijou si to nonako
Terjemahan :
Masih jauh sudah ku sembah
Bagindaku yang sudah kukenali

Loleo igo ma ake
Kore koa yo i dahe
Terjemahan :
Tergenang bagaikan air dalam kelapa
Angin apa bisa menembusinya

4. Pantun.

Sebagaimana daerah lain di Indonesia, pantun dalam sastera lisan Temate pun mempunyai tempat yang penting di kalangan masyarakat, terutama remaja. Karena pantun ml sangat digemati oleh muda-mudi dalam temu pacaran, sehingga dapat dikatakan bahwa pantun itu dikenal semua generasi. Biasanya pantun juga dilantunkan oleh biduan dengan menggunakan gambus (semacam ganun kecil) sebagai alat pengiring lagu itu.

Isi pantun memberikan kesan: pergaulan muda-mudi, nasihat pergaulan hidup, serta anjuran menuntut ilmu pengetahuan. Penyampaiannya tergantung pada penyairnya.

Contoh : Pantun

Lemo-lemo sagala lemo
Lemo marau rimoi bato
Demo demo sagala demo
Demo malaha rimoi bato


Terjemahan :

Jeruk-jeruk bermacam jeruk
Jeruk daunnya hanya satu
Kata-kata bermacam kata
Kata bermakna hanya satu

Tarate sio Tarate
Tarate ruru masaya roriha
Tarnate sio Tarnate
Tarnate ri’uwa doka sosira

Terjemahan :

Taratai wahai Taratai
Tarate hanyut kembangnya merah
Tarnate wahai Tarnate
Ternate tidak seperti dahulu

Tagi ngoko liba-liba
Bajalan jao gudu kawasa
Gudu moju si to suba
Ri Jou si t nunako

Maknanya : Sesal kemudian tak berguna

Lule-lule ka toma kaha
Sibubu besa siwohe wange
Nage ma pahala laha
Piara ena dadi ka joro

Maknanya : Sesuatu yang saat ini mungking belum Berguna, tapi suatu saat nanti akan bermanfaat jika dipelihara dengan baik.

5. Rorasa (Bobaso se Rasai).

Rorasa bentuk lisan berfungsi dalam kehidupan masyarakat, syairnya berbentuk pernyataan perasaan, nasihat serta petunjuk. Penyajiannya dilakukan pada acara/upacara seremonial tertentu, terutama dalam upacara adat. Rorasa merupakan prakata pada upacara adat. Penyajiannya harus disampaikan oleh pemuka adat atau agama.

Rorasa dilakukan pada acara/upacara seperti :

a. Pelantikan Sultan.
b. Sidego / Sinonako
c. Penerimaan Tamu Agung / Joko Kaha
d. Upacara Perkawinan.
e. Jamuan Makan Adat.
f. Upacara Penguburan Sultan.
g. Upacara adat lainya.

Teks di bawah ini adalah bentuk Rorasa dari sastra lisan Ternate dalam Upacara Pelantikan Sultan Ternate ke-48 pada tahun 1986, (Sultan Haji Mudafar Sjah - II) :

"Sailillah Suba Jou Kolano Lamo-Lamo, Kahlifah magori-gori. Kanange ne toma hijrahtun Nabi ma pariama calamoi seratu raha seromtoha maara Rabiul Akhir i fane nyagi moi se raha mawange Robo oras cako tofkange makutika Qamariah waktu dhuha, si mara Jou Allah Taala mahidayat sekodrati manyinga magaro si dete ngana toma darajatul aliyah manyeku-nyeku toma darajat Kolano.

No Khalifahtur rasyid no tobad dihir Rasul no gugu takbir perintah amar ma’ruf se nahi mungkari, wayah kumul a-dilina bainal Rijali wan nisaa’i, Sailillah Suba Jou Kolano no halifah magori-gori.

No tego toma singgahsana Kolano, ni jojoko no sijoko toma ti’nil Moloku, ni momina se ni gogise mangagu-ngagu intan se yakut ma lili parmata jamrut, mabubela ratna mutu manikam. Mafassyah isi woro toma alam daerah Moloku Kie Raha, Limau Duko se Gapi, Seki se Tuanane matubu, La idadi ka cahaya akal insan Kolano
.

Sailillah Suba Jou Kolano Lamo-Lamo, no khalifah magori-gori. La ngofa ngare ngom bala se kusu se kano-kano, kie se gam mi masi tadu se Jou Kolano ni cahaya budiman malobi-lobi.

Sailillah Suba Jou Kolano Lamo-Lamo, no khalifah magori-gori. Kum-kum ua moju ni sosyusi ka ni Rasul Wajir ngofa ngare Abdul Hamid, Kimalaha Marsaoli to vis Jogugu to sitede ri suba paksaan mangale se to waje-waje, ni Moloku Kie Raha, Tarnate se Todore, Bacan se Jailolo, se ni mie gudu-gudu Sulu se Mindano, se ni mie lofo-lofo Morotai se Morotia se ni sara gudu-gudu Bima se Manggarai se ni sara lofo-lofo Sula se Taliabu.

Ni ronga se ni Bobato Dunia se Bobato Akhirat, Soa sio se Sangaji, Heku se Cim se ni bangsa berbangsa, se ni ngofa-ngofa kolano se ni ngofa ngare pihak berpihak.
Ma istiadat se ma kakasura ma Adat se ma Aturan, ma Galib se ma Likudi, ma Cara se ma Biasa, ma Cing se ma Cingari, ngofa ngare ngom mi moi-moi bala kusu se kano-kano, ronga se Bobato mi tede se mi saha mi si mulia se mi dodoman, daka toma zaman mutakaddimin Jou ni Guru se ni Haji se ngofa ngare ngom mia Baba se mia Ete si tudu kanange ne zaman mutakhirin, Jou se ngofa ngare ngom i tola ua moju toma si futu se wange i tudu hari kiyamat.

Sailillah Suba Jou Kolano Lamo-Lamo, no khalifah magori-gori. Kum-kum ua moju ni sosyusy ngofa ngare Kimalaha Marsaoli to vis Jogugu to tede ri suba paksaan
".

Terjemahan :

"Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, kau khalifah yang utama. Pada hari ini tahun Hijrah Nabi seribu empat ratus lima bulan Rabiul akhir empat belas malam hari Rabu tepat jam delapan pagi waktu dhuha, maka Allah taala dengan hidayat dan kodrat-Nya serta kehendak-Nya mengangkat engkau pada derajat Aliyah di puncaknya pada Kolano.

Engkau Khalifahturrasyid dan Tubaddilur Rasul kau pegang takbir perintah amar ma’aruf dan nahi mungkar, wayahkunul adilina bainal Rijali wan nisaa’i. Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, khalifah yang utama. Engkau bertahta di singgahsana yang agung, kau berpijak di atas tanah Moloku, penglihatan dan pendengaranmu bertaburan intan dan yakut berlilit permata jamrud, berkilauan bagaikan ratna mutu manikam. Fassyahnya terbentang di alam daerah Maloko Kie Raha, Limau Duko dan Gapi, Seki dan Tuanane di puncaknya supaya menjadikan cahaya akal insan Kolano.

Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, kau khalifah yang utama, supaya kami bala dan rakyat, kerajaan dan negeri kami bernaung di bawah sombar cahaya budimanmu.

Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, kau khalifah yang utama. Sebelumnya kami sebagai pejabat tinggi kerajaan ini saya Abdul Hamid, Kimalaha Marsaoli, pemegang kekuasaan Perdana Menteri dengan perkasa mengangkat sembah untuk memberitahukan kepadamu tentang Maloko Kie Raha, Temate dan Tidore, Bacan dan Jailolo beserta wilayah kekuasaanmu di utara terjauh: Sulu dan Mindanao, utara terdekat: Morotai dan Morotia, di selatan terjauh: Bima dan Manggarai, dan selatan terdekat: Sula dan Taliabu.

Pejabat tinggi serta anggota Dewan yang terhormat dunia dan akhirat, Soa Sio dan Sangaji, Heku dan Cim dan juga para bangsa berbangsa, para pangeranmu dan semua pejabat yang berada di bawahmu serta semua hak dan kekuasaanmu, adat dan aturan, galib dan lukudi, semua tata cara serta kebiasaan, Cing dan Cingare, kami semua bala dan rakyat, pejabat dan anggota Dewan, mengangkat dan memuliakan menurut ketentuan terdahulu zaman Mutakaddimin Tuan punya bapak dan kakek, dan kami punya bapak dan kakek sampai ada hari ini zaman Mutakhirin Tuan dan kami tak akan terputus ikatan sampal pada han kiyamat.

Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, kau khalifah yang utama. Sebelumnya pejabat tinggimu, saya Kimalaha Marsaoli pemegang kekuasaan Perdana Menteri dengan terpaksa mengangkat sembah".

6. Tamsil.

Sebagaimana dalam kesusasteraan Indonesia, tamsil dalam sastera lisan Ternate berisi nasihat dan petunjuk mengandung unsur keagamaan, sebagai peringatan kepada pemeluknya agar benar-benar mempelajari ilmu agama dan mengamalkannya selama masih hidup.

Tamsil dilakukan oleh pemuka agama pada acara berkabung dan kematian di rumah tempat acara berkabung itu dilakukan. Tujuannya supaya pendengar yang hadir dalam acara berkabung turut mengenang bahwa mereka pun akan melalui jalan sebagaimana si mati yang telah mendahului mereka itu. Kematian itu datang menjenguk seseorang tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Maka dari itu, selagi masih ada kesempatan (hidup), kita perlu menelusuri dan menuntut tuntutan yang diwajibkan oleh agama.

7. Cum-Cum.

Cum-cum secara harafiah berarti tebak menebak / teka-teki. Cum-cum biasanya dilaksanakan di tempat berlangsungnya acara berkabung pada hari kematian seseorang. Pelakunya muda-mudi, yang terbagi dalam dua kelompok, masing-masing beranggota lima, sepuluh orang atau lebih.

Apabila salah satu kelompok kalah karena tak sanggup menebak tebakan yang diajukan oleh kelompok tandingnya, hukuman bagi kelompok yang tak sanggup menebak itu ialah melaksanakan sesuatu pekerjaan untuk keperluan yang dibutuhkan rumah tempat pelaksanaan acara berkabung pada hari kematian, seperti kebutuhan akan kayu api, maka mereka (kelompok yang kalah) mencari dan mendatangkan kayu api di rumah tersebut.

Kata-kata dalam Cum-cum berbentuk syair. Pelaksanaan permainan didahului dengan perkataan pembukaan mengemukakan ketentuan yang patut ditaati dan dilaksanakan oleh yang kalah.

Contoh : Cum-Cum

Cum madikecum, cum madahe-dahe
Mara cum tero uwa riki non ni kangela
Sidobo-dobo afa sidolo dim i die
Maha nita si fo hida maha yali mai laha
Manyira jang majojo fang tego kokonora
Kapagu yo ngone ngamdi nga ronga lomajaro masinoto
Bela-bela wari, wari fangare bolo nage adi


Terjemahannya :

Tebak usaha tebak, tebak yang tepat
Apabila tebak salah mencari bebanmu sendiri
Diketuk-ketuk jangan ketuk mereka punya
Nanti besok kita lihat, nantipun baik juga
Yang kakak cantik yang adik, cantik terletak di tengah
Di panggung hijau kita berhadapan nama terpancang dua pemisah kilat menyambar, menyambar saya atau siapa lagi

Manuru togugu-gugu i hira sen momina
I doro seni bobaso doka dehe pasa marua
Katu totori tutara, dalul se hate gila fala gam mamunara
Dai ngolo hoko ge bao lele jame-jame
Ge fame tike toma koga?

Terjemahannya :

Melati kepegang hilang dan penglihatan
Ia jatuh dalam perasaanku seperti tanjung ditinggalkan sudah
Atap setangkai, tutara. kayu panjang alamya rumah negeri.i laut lautan kita merasakan putaran arus, rasanya kita cari di mana?


8. Mantera.

Mantra sebagai bagian dan pelengkap budaya daerah mempunyai fungsi dan peran penting dalarn masyarakat masa lampau. Dapat dijumpai di mana-mana mantra itu di seluruh Tanah Air. Penggunaan dan tujuannya sama.

Dalam budaya masyarakat Ternate masa lampau, mantra berfungsi untuk: pengobatan, kekebalan dengan tujuan membela din dan perkelahian ataupun peperangan, agar dikasihi orang, memohon pertolongan dan ruh gaib, mengucap syukur pada ruh gaib, atau menolak bencana.

Dengan kata lain, mantra itu sebagai sastera lisan sangat berfungsi dalam kehidupan masyarakat masa lalu, sedangkan pada masyarakat pedesaan sekarang, mantra itu masih berfungsi pengobatan.

Contoh : Mantera

Bismillah hi rrahm an nirahim
To oro ri salawaku
To oro ri sagu-sagu
Doka ge lulu polote
Makaha mai I robo
Matufa mai lenge
Mamancia ma! soro
Bismillah hirrahman nirrahim
Goyang-goyang I si goyang
Goyang mina mi nyinga ge
Dokajou Nabi Daud
Insya Allah berkat guru berkat Lailaha Allah
Bismillah hirrahman nirrahim
Saya dan saya in
Soya magunaga soya
Garaki sefangare ri saya
Doka jou Nabi Yusuf
Insya Allah berkat guru Berkat la ilaha illallah
Assalainu alaikum
Kama nia kama nau
Wele una kama nau
Ya ma setan, ya ma iblis
Ya manusiaya
Nohida ngori
No giha se nigate se miri masoa seninyinga
Bismillah barakat guru barakat haji
Jin toma ngawa-ngawa Uci (salaijin)
Jin toma ngawa-ngawa Uci la salai fin

Terjemahan :

Bismillah hirrahman nirrahim
Ku ambil perisaiku
Ku ambil tombakku Seperti guruh meletus
Tanah pun retak
Langit pun miring
Musuh pun Ian
Bismillab hirrahnian nirrahim
Goyang, goyang Ia goyangkan
Goyang hatinya itu Seperti Nabi Daud
lnsya Allah berkat guru berkat Lailaha illaIIah
Bismillah hirrahman nirrahirn
Kembang dan kembang in
Kembang wajah kembang
erkejut pada kembang ku
eperti tuan Nabi Yusuf
nsya Allah berkat guru
Berkat La ilaha illaIlah
Assalamu alaikum Pada wanita pada pria
Gantung dia pada tarikan
Ya saitannya, ya iblisnya
Ya mariusia ya Kamu lihat aku
Kau letakkan di antara hati dan perasaanmu dan kasih
Bismillah berkat guru berkat haji,
Jin di kayangan Turun supaya menari-nari Jin di kayangan
Turun supaya menari-nari

9. Jarita.

Jarita adalah bentuk sastera lisan paling tua di Ternate. Jarita dalam sastera Melayu dikenal dengan “Ceritera” atau dongeng. Bentuk sastera lisan ini hampir ada pada semua komunitas manusia dimanapun di muka bumi ini.

Baca selengkapnya......

Old Ternate Palace & Old Mosque In Ternate



View of Ternate Town

Klik Tampilan Slide